Bogor, Technology-Indonesia.com – Melalui program Gerakan Tiga Kali Ekspor (Gratieks), Kementerian Pertanian (Kementan) terus mendorong peningkatan ekspor buah-buah dalam negeri. Salah satu buah-buahan asli Indonesia yang menjadi andalan ekspor adalah salak.
Hambatan dalam peningkatan ekspor produk hortikultura diantaranya masa simpan dari buah-buahan. Untuk mendukung Program Gratieks, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) telah melakukan penelitian yang menghasilkan teknologi penanganan buah segar salak untuk tujuan ekspor.
“Sebagai lembaga riset di Kementerian Pertanian, kami ikut ditugaskan untuk mendukung aspek-aspek teknologi yang akan mendukung peningkatan ekspor khususnya hortikultura,” kata Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian (BB Pascapanen) Balitbangtan, Prayudi Syamsuri saat membuka Focus Group Discussion (FGD) “Penanganan Segar Buah Salak Tujuan Ekspor” pada Kamis Kamis (10/12/2020).
Menurut Prayudi, Indonesia memiliki buah-buahan yang memiliki potensi ekspor, namun ada beberapa kendala yang harus diselesaikan bersama. Salah satu hambatan dalam peningkatan ekspor hortikultura adalah masa simpan dari buah-buahan. Untuk itu BB Pascapanen melakukan kerjasama penelitian dengan mitra eksportir PT Agri Bumindo Cakrawala untuk memperpanjang masa simpan buah dengan hasil cukup signifikan.
Tantangan lainnya adalah menurunkan biaya ekspor. “Salah satu caranya dengan melakukan perubahan transportasi dari udara ke laut dengan memperpanjang masa simpan atau melakukan rekayasa-rekayasa teknologi sehingga buah masih segar saat sampai ke konsumen di negara tujuan ekspor,” terangnya.
Prayudi berharap melalui FGD ini bisa terjalin sinergi untuk menghimpun seluruh kekuatan baik eksportir, pengambil kebijakan, pembina di lapangan, petani, dan lain-lain. “Tidak ada mata rantai yang tidak penting dalam suatu siklus ekspor, semua memberi peran dari benih hingga buah berada di tangan konsumen,” tuturnya.
Senada, dalam sebuah kesempatan, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menyampaikan bahwa pemerintah dan pelaku usaha harus melakukan pemetaan terhadap pasar komoditas pertanian di dunia. Hal itu diperlukan agar strategi untuk masuk di pasar global dapat dilakukan secara tepat sasaran.
“Untuk bisa berkompetisi dibutuhkan persiapan yang serius. Kuantitasnya kita siapkan juga, tapi kualitasnya tidak boleh kalah dengan negara lain,” tegas Mentan saat melepas ekspor produk olahan ayam di Jakarta, akhir November lalu.
Sementara, Kepala Balitbangtan, Dr. Fadjry Djufry mengatakan, untuk menjawab tantangan pertanian global dan nasional saat ini dan ke depan, penciptaan dan penguasaan teknologi beserta inovasinya merupakan keniscayaan.
“Produk-produk hasil inovasi Balitbangtan beberapa tahun terakhir ini menjadi wujud bahwa Balitbangtan, Kementerian Pertanian bukan hanya menghasilkan riset untuk peneliti dan perekayasanya saja, tetapi sudah menyentuh sampai ke masyarakat,” ungkap Fadjry.
Peneliti BB Pascapanen, Ira Mulyawanti memaparkan beberapa teknologi pascapanen salak yang telah dikembangkan oleh BB Pascapanen seperti perlakuan suhu, kelembaban, kemasan, dan lain-lain yang sangat berpengaruh pada umur simpan salak.
Salah satu teknologi untuk meningkatkan umur simpan salak adalah teknologi Control Atmosphera Storage (CAS) yaitu teknik penyimpanan buah dengan memberikan kondisi udara yang berbeda dengan kondisi udara normal khususnya proporsi O2 dan CO2 pada ruang penyimpanan.
Teknologi ini bisa meningkatkan umur salak dari 5-7 hari menjadi 26 hari dengan tingkat kerusakan dibawah 10%. Kondisi buah masih segar, kulit mudah dikupas, warna daging buah putih, tekstur renyah dengan aroma khas buah salak segar.
Teknologi ini, terangnya, telah diujicoba melalui kerjasama dengan PT Tulip Sekawan untuk ekspor salak sebanyak 3 kali ke Malaysia dengan total 9 ton. Dengan implementasi teknologi pengemasan atmosir termodifikasi ini kerusakan buah salak akibat transportasi ekspor mencapai 1-2%.
Untuk mengatasi mikroba pada buah salak, BB Pascapanen melakukan perlakuan penanganan infeksi patogen diantaranya menggunakan uap panas, etanol, dan bahan aktif dari lengkuas. “Dari hasil penelitian ini, lengkuas 5% memiliki potensi untuk menekan kerusakan mikrobiologi pada buah salak,” terangnya.
Strategi Peningkatan Ekspor
Pada FGD tersebut, Direktur Buah dan Florikultura, Ditjen Hortikultura, Liferdi Lukman mengatakan, pangsa pasar buah tropis sangat tinggi. Pasar tertinggi ada di Uni Eropa sekitar 50%, disusul Amerika Serikat (23%), dan China (12%). Sementara negara supplier buah tropis adalah Amerika Latin (33%), Uni Eropa (24%), dan ASEAN (21%).
“Kita memproduksi buah sekitar 24 juta ton/tahun. Namun ekspor buah kita masih di bawah Vietnam, Thailand, Filipina, dan Myanmar. Dengan target ekspor tiga kali lipat kita bisa selevel dengan Filipina,” tutur Liferdi.
Salak menjadi buah keempat yang paling banyak diekspor Indonesia setelah manggis, nanas, dan pisang yaitu 1.698 ton dengan nilai Rp 2,6 miliar di tahun 2019. Negara tujuan ekspor salak Indonesia pada 2020 antara lain Hongkong, China, Thailand, Singapura, Malaysia, Kamboja, dan lain-lain. “Permintaan cukup tinggi tetapi belum bisa direaliasikan yaitu ke Malaysia, Kamboja, Saudi Arabia, Belanda, dan Perancis,” lanjutnya.
Produksi salak Indonesia pada 2019 tercatat 955.763 ton dengan luas panen 27.050 hektare. “Kalau kita lihat antara produksi dan kebutuhan dalam negeri maupun ekspor, salak masih surplus sekitar 160 ton. Artinya kalau kita mempunyai agenda untuk meningkatkan ekspor tiga kali lipat ini masih memungkinkan,” terangnya.
Untuk meningkatkan ekspor buah-buahan, Ditjen Hortikultura melakukan strategi Gerakan Mendorong Produksi, Daya Saing, dan Ramah Lingkungan Hortikultura (Gedor Horti). Strateginya antara lain melalui peningkatan produksi, pengendalian teknologi ramah lingkungan, dan peningkatan daya saing.
Sementara itu Kepala Bidang Karantina Tumbuhan Non Benih, Pusat Karantina Tumbuhan dan Keamanan Hayati Nabati, Badan Karantina Pertanian, Turhadi Noerachman menerangkan bahwa dalam perdagangan internasional ada dua instrumen penting yaitu kualitas atau mutu (Technical Barrier to Trade/ TBT) serta Sanitary and Phytosanitary (SPS).
Karena itu, pendampingan terhadap petani menjadi mitra para eksportir harus dilakukan mulai dari penerapan Good Agriculture Procedure (GAP) hingga Good Handling Procedure (GHP) untuk memastikan kualitas dan mutu dari buah-buahan yang akan diekspor.
“Kita harus siap dengan persyaratan yang ditetapkan oleh beberapa negara. Di masa pandemi ini, banyak negara melakukan penguatan terhadap persyaratan impor. Jadi barang yang masuk dari negara lain banyak perubahan ketentuan untuk perlindungan pasar domestik tiap negara,” terangnya.
Turhadi mengatakan bahwa lalat buah menjadi isu utama ekspor buah salak Indonesia dan buah-buahan lainnya ke berbagai negara maju yang memiliki aturan perkarantinaan ketat seperti Australia, Korea Selatan, New Zealand, USA, Jepang, China, dan lain-lain.
Untuk itu, penguatan program nasional pengendalian lalat buah harus dilakukan secara konsisten di seluruh pertanaman produk buah unggulan ekspor Indonesia, termasuk penguatan program surveilans lalat buah dan manajemen data surveilans lalat buah. “Kita perlu menyiapkan fasilitas perlakuan lalat buah yang memenuhi standar internasional dan berskala komersial,” pungkasnya.