Bogor, Technology-Indonesia.com – Indonesia memiliki pengalaman panjang dalam mengelola lahan rawa. Indonesia pernah sukses mengelola rawa di Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan, meskipun harus diakui Indonesia pernah gagal pada proyek lahan gambut (PLG) 1 juta hektare. Pusat-pusat peradaban di Nusantara pun sebagian besar berhubungan erat dengan lahan rawa.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Kementerian Pertanian, Dr. Fadjry Djufry mengatakan pengalaman sukses dan gagal menjadi rambu-rambu untuk mengulang keberhasilan dan tidak jatuh pada kegagalan serupa.
“Tidak semua rawa adalah gambut sehingga tak perlu khawatir pembukaan rawa merusak gambut,” kata Fadjry talkshow daring “Ngobrol Asyik Pertanian Rawa Kita” yang digelar Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) pada Rabu (10/6/2020).
Menurut Fadjry, pemerintah berencana mengembangkan lahan rawa di Kalimantan Tengah (Kalteng) untuk menambah 1,5-juta ton stok beras. Target itu dilakukan melalui intensifikasi di lahan sawah eksisting seluas 85.456 ha dan ekstensifikasi 79.142 ha. Publik tak perlu khawatir karena sebagian besar ekstensifikasi dan intensifikasi itu berada di lahan eks. PLG sehingga bingkai besarnya adalah revitalisasi atau optimalisasi lahan.
Kementan juga akan mengembangkan lahan rawa dengan sistem klaster berbasis korporasi petani, diversifikasi dan integrasi pangan, serta lumbung pangan. “Kementan sudah memiliki demfarm yang terbukti berhasil sehingga dapat dikembangkan di lokasi lain,” kata Fadjry.
Guru Besar Ilmu Tanah IPB, Prof. Budi Mulyanto menyambut baik upaya Kementan mengembangkan lahan rawa. Menurutnya, interaksi lahan rawa dengan masyarakat Indonesia sudah terjadi sejak awal kehidupan ini. “Kehidupan masyarakat Nusantara banyak yang berakar dari lahan rawa. Demikian pula pusat peradaban Nusantara berhubungan dengan rawa,” katanya.
Budi yang juga Ketua Umum Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) menyebutkan pusat-pusat peradaban di Nusantara sebagian besar berhubungan erat dengan lahan rawa. Sebut saja Kerajaan Sriwijaya berbasis ekosistem rawa di sekitar Sungai Musi, demikian pula Kerajaan Majapahit berbasis rawa belakang Sungai Brantas.
Dari interaksi tersebut, timbul budaya pertanian termasuk kelembagaan, keorganisasian, dan teknologi-teknologi yang telah dimiliki berdasarkan pengalaman-pengalaman pada lahan rawa. “Kita harus pelajari dengan baik karena dengan mempelajari apa yang telah dilakukan nenek moyang kita, Insya Allah, kita bisa mengembangkan lahan rawa dengan baik,” tuturnya.
Pemanfaaan lahan rawa juga terjadi pada masa kolonial. Beberapa literatur menunjukkan bahwa lahan rawa telah menjadi fokus studi yang penting oleh para ilmuwan kolonial untuk pengembangan pertanian. Beberapa laporan menunjukkan bahwa lahan rawa, termasuk lahan rawa gambut telah digunakan oleh masyarakat lokal untuk kegiatan pertanian di Jawa (Besuki, Serang, Balaraja, Lakbok, dan lain-lain); Pantai Timur dan Barat Sumatera; Kalimantan Selatan dan Papua Selatan.
“Masyarakat lokal menerapkan sistem budaya spesifik lokal yang disesuaikan dengan kondisi lahan rawa di masing-masing lokasi,” paparnya.
Pada zaman Belanda lahan rawa juga telah dikaji untuk berbagai pertanaman seperti karet, padi, sagu, kelapa, dan sebagainya. Reklamasi lahan gambut pun pernah dilakukan pada zaman Belanda. Setelah tahun 1950an banyak pusat-pusat produksi pangan di lahan rawa yang dikembangkan masyarakat secara tradisional
“Saya sering menyebutkan bahwa pada lahan rawa terjadi titik leleh etnik-etnik yang ada di Indonesia itu membentuk peradabannya, misalnya orang Banjar, Bugis, Dayak, dan Melayu, semua menggunakan rawa untuk membangun pertanian dan perkebunan dan telah berhasil dengan baik,” ungkapnya.
Lebih lanjut Budi memaparkan, sekitar awal 1970-an pemerintah mensponsori pembukaan rawa gambut pasang surut melalui Proyek Pengembangan Persawahan Pasang Surut (P4S) di Kalimantan Selatan, Tengah, dan Barat; Pantai timur Sumatera (Sumatera Selatan, Jambi, Riau). Sebagian wilayah yang dikembangkan seperti: Delta Upang, Delta Telang, Karangagung dan lain-lain berhasil baik dan beberapa daerah kurang memuaskan.
Berdasarkan Keputusan Presiden No. 82/1995, pemerintah melakukan pengembangan lahan gambut untuk pertanian seluas 1.457 juta hektare (ha) yang dikenal dengan PLG 1 juta hektare. Menurut Budi, banyak yang menjadi pembelajaran dari proyek ini mulai dari masalah degradasi, subsidensi, kebakaran, emisi karbon, dan lain-lain. Semua itu karena perencanaan dan pengelolaannya tidak didasarkan pada ilmu dan pengetahuan tanah gambut yang memadai.
“Indonesia punya banyak pengalaman. Kegagalan pada PLG akibat prinsip-prinsip ilmu tanah tidak diterapkan dengan baik. Di masa depan pengembangan rawa harus memperhatikan prinsip ilmu tanah,” katanya.
Menurutnya, Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) merupakan himpunan tua yang sejak lahir telah berjalan beriringan dengan Kementerian Pertanian. “HITI siap mendampingi Kementan mengoptimalisasi lahan rawa,” kata Budi.
Sementara itu, Kepala BBSDLP, Husnain, PhD mengatakan pengembangan lahan rawa tersebut akan melibatkan institusi Balitbangtan yang telah puluhan tahun meneliti rawa yaitu Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra). Demikian pula para ahli rawa dari berbagai institusi akan dilibatkan agar pengembangan rawa benar-benar berbasis ilmiah.
“Para peneliti akan kita terjunkan agar optimalisasi rawa tetap berkelanjutan,” kata Husnain. (Destika Cahyana/SB)
Kehidupan Masyarakat Nusantara Berakar dari Lahan Rawa
