Jakarta, Technology-Indonesia.com – Negara yang kuat sektor industrinya, juga ditopang oleh pembangunan sektor pertanian dan pangan yang kuat. Pangan merupakan komoditas strategis yang setidaknya harus dapat memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Dengan memperhatikan jumlah penduduk dan kekayaan alam, semestinya sektor pertanian menjadi salah satu tulang punggung negara Indonesia.
Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Hammam Riza menyampaikan hal tersebut saat membuka The 3rd Bioeconomic Innovations on Agroindustrial Technology and Biotechnology 2019. Hammam juga memaparkan kiprah BPPT dalam pengembangan teknologi pertanian, pangan dan kesehatan di kancah nasional.
“Ini adalah bidang penting yang terkait dengan harkat hidup orang banyak yaitu teknologi pangan, pertanian, dan kesehatan yang akan menjadi flagship-nya BPPT. BPPT harus secara sungguh-sungguh mengangkat teknologi ini sampai dimanfaatkan oleh masyarakat luas melalui program pengkajian dan penerapannya,” ungkap Hammam di Auditorium Gedung II BPPT, Jakarta, Rabu (6/2/2019).
Lebih lanjut Hammam menerangkan bahwa BPPT melalui Deputi Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi (TAB) berusaha mengkaji terap teknologi, sebagai solusi dan rekomendasi terhadap permasalahan di sektor pertanian, pangan dan kesehatan.
Di bidang pangan misalnya, BPPT berupaya mensubstitusi impor daging sapi melalui program integrasi industri sawit dan sapi yang sedang dikembangkan Tim Peneliti dan Perekayasa Deputi TAB bekerjasama dengan mitra terkait. “Semoga lahan sawit nasional yang saat ini sekitar 14 juta hektar dapat dimanfaatkan secara optimal tidak hanya untuk pemenuhan kebutuhan industri sawit dan turunannya namun juga terkait upaya pemenuhan kebutuhan daging sapi nasional,” paparnya.
Sementara dalam dunia Industri kesehatan, isu ketergantungan bahan baku obat dan alat kesehatan impor merupakan salah satu permasalahanan yang masih dihadapi oleh bangsa Indonesia hingga saat ini. Faktor industri hulu dan antara yang lemah, urai Hammam, merupakan salah satu penyebab tidak berkembangnya industri bahan baku obat sintetik kimia di Indonesia. Di sisi lain, negara-negara maju telah jauh mengembangkan industri bahan baku obat dengan dukungan industri hulu dan antara yang kuat.
“Dengan kondisi semacam ini, Indonesia sebenarnya memiliki sumberdaya hayati yang sangat melimpah. Kekayaan ini bisa dimanfaatkan untuk pengembangan obat herbal atau obat berbasis fermentatif. Dengan melihat hal ini seharusnya mempunyai peluang untuk mengembangkan bahan baku obat berbasis herbal atau fermentatif,” terangnya.
Kepala BPPT menegaskan hasil kajian BPPT harus diterapkan di kalangan industri atau masyarakat. Karena itu, BPPT sangat mendorong akan adanya hilirisasi hasil riset ke masyarakat.
“Forum semacam inilah yang diharapkan akan menjadi salah satu jembatan antara kalangan akademisi dengan masyarakat industri. Konsep triple helix melalui sinergi positif antara kalangan akademisi, industri dan pemerintah akan kami jalankan secara optimal,” ungkapnya.
Pada kesempatan tersebut, Deputi TAB BPPT, Soni S. Wirawan menuturkan bahwa kegiatan merupakan salah satu upaya percepatan hilirisasi capaian produk dan teknologi kepada para pemangku kepentingan.
“Hilirisasi merupakan tahapan penting bagi pengkajian teknologi, karena tanpa tahapan ini maka keseluruhan kajian hanya akan menjadi bahan laporan dan publikasi belaka, dan tidak memberikan dampak ekonomi secara signifikan, serta mengacu pada kebijakan pemerintah,” terangnya.
Kegiatan gelar teknologi ini didahului paparan program Kedeputian TAB 2020-2024. “Tema yang akan disampaikan adalah inovasi teknologi di bidang pangan berbasis protein, pangan padat gizi, obat herbal, bahan baku obat dan bio industri untuk mendukung industri manufaktur berkelanjutan,” ujarnya.
Soni menguraikan, Kiprah BPPT dalam bidang pertanian dan pangan pengembangan ikan nila SALINA yang mampu hidup di air payau bahkan di air laut. Ikan nila SALINA semula dirancang untuk menggantikan komoditas ikan bandeng dan udang windu. Dalam pengembangan selanjutnya, ikan nila SALIN ini dapat hidup di air laut, sehingga budidaya menggunakan jaring apung sangat memungkinkan untuk dilakukan.
Dalam bidang teknologi kesehatan, BPPT telah melakukan kerjasama dengan berbagai industri farmasi dan herbal dalam pengembangan berbagai produk teknologi kesehatan. Peneliti dan perekayasa Kedeputian TAB telah mengembangkan beras analog berbahan baku singkong, sagu atau jagung serta mie berbahan baku sagu dan cassava instan. Beras analog kenampakannya tetap serupa beras namun lebih sehat karena mempunyai indeks glikemik yang lebih rendah.