Jakarta, Technology-Indonesia.com – Badan Informasi Geospasial (BIG) mengumumkan Tim International Peat Mapping sebagai pemenang kompetisi Indonesian Peat Prize berhadiah US$ 1 juta. Tim ini beranggotakan ilmuwan dari Remote Sensing Solutions GmbH (RSS), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dan Universitas Sriwijaya.
Tim International Peat Mapping berhasil menyisihkan 44 tim peserta yang kemudian tersaring menjadi 5 tim finalis. Anggota tim terdiri dari pakar pemetaan dan lahan gambut dari Indonesia, Jerman, dan Belanda yaitu Prof. Dr. Florian Siegert, Dr. Uwe Ballhorn, Peter Navratil, Prof. Dr. Hans Joosten, Dr. Muh. Bambang Prayitno, Dr. Bambang Setiadi, Felicitas von Poncet, Suroso dan Dr. Solichin Manuri.
Kepala BIG, Hasanuddin Zainal Abidin menyatakan kegembiraannya karena kompetisi ini menghasilkan metode terbaik untuk memetakan lahan gambut yang mengombinasikan ketepatan waktu, biaya, dan keakuratan untuk mendukung tugas BIG dalam pemetaan dan penyediaan data dan informasi geospasial.
Selanjutnya, BIG akan memimpin proses untuk memanfaatkan metode pemenang sebagai rujukan utama untuk memperbaiki Standar Nasional Indonesia bidang pemetaan gambut skala 1:50.000. Proses ini akan dimulai dengan mengeluarkan peraturan Kepala BIG tentang pemetaan gambut pada skala 1:50.000.
“Dengan membuat metode tersebut sebagai standar, kita akan memperoleh peta gambut beserta data dan informasi spasialnya sebagai sarana melindungi lahan gambut secara lebih efektif dan efisien,” ungkap Kepala BIG di sela acara pengumuman pemenang Indonesian Peat Prize di Jakarta, Jumat (2/2/2018).
Dewan Penasihat Ilmiah yang menilai aplikasi peserta memutuskan Tim International Peat Mapping berhasil menawarkan metode yang relatif paling akurat, terjangkau, dan tepat waktu untuk memetakan lahan gambut. Pemerintah Indonesia akan menggunakan metode pemenang untuk melindungi dan mengelola lahan gambut, mempercepat restorasi gambut, dan mendukung tujuan pembangunan Indonesia.
Co-chair Dewan Penasihat Ilmiah sekaligus Ketua Himpunan Masyarakat Gambut Indonesia, Supiandi Sabiham menyatakan metode yang diajukan oleh para finalis mencakup kombinasi berbagai teknologi ternama dan inovatif, termasuk teknik penginderaan jarak jauh dengan pesawat seperti altimetri menggunakan laser, citra elektromagnetik, dan interferometri menggunakan radar serta pengukuran lapangan.
Menurut Supiandi, terdapat kemiripan di antara metode-metode yang diajukan oleh finalis, dan Dewan Penasihat Ilmiah membuat keputusan pemenang berdasarkan perbedaan dalam akurasi, biaya, dan kecepatan metodologi dalam memetakan gambut.
“Ada hal-hal yang lebih spesifik yang dilakukan oleh Tim International Peat Mapping yaitu mengajukan empat alternatif teknologi yang memang tergantung dari kondisi area. Ini menjadi kelebihan karena Indonesia sangat heterogen kondisi alam dan kondisi fisik gambutnya. Sehingga kita perlu beberapa alternatif yang bisa diaplikasikan ke seluruh kondisi yang tarafnya berbeda,” terangnya.
Tim International Peat Mapping mengombinasikan teknologi berbasis satelit, LiDAR, dan pengukuran lapangan, yang kemudian menghasilkan metode pemetaan gambut yang akurat, cepat, dan terjangkau. Tim mengaplikasikan produk bernama WorldDEM yang menggunakan citra satelit untuk membuat model permukaan bumi dengan resolusi 10 meter, serta citra satelit Sentinel.
Tim mengombinasikan teknologi berbasis satelit ini dengan model permukaan bumi yang dihasilkan dari LiDAR (teknologi yang menggunakan cahaya laser untuk menciptakan peta permukaan bumi 3 dimensi) yang diterbangkan dengan pesawat. Metodologi tim juga mencakup pengukuran lapangan untuk menghasilkan model yang dapat mengukur ketebalan gambut secara akurat.
Anggota tim International Peat Mapping dari BPPT, Bambang Setiadi, menyatakan penelitian menunjukkan, ketika tingkat air tanah di hutan rawa gambut tropis berada di posisi rendah di musim kemarau, gambut akan lebih rentan terhadap kebakaran.
Indonesia pernah mengalami kebakaran besar gambut pada 1997. Sayangnya, lanjut Bambang, kita tidak belajar bahwa Indonesia pernah mengalami kebakaran gambut terbesar di dunia. Terjadi lagi kebakaran besar di 2005 dan lebih besar lagi pada 2015. Kerugian negara menurut perhitungan World Bank mencapai 212 Triliun.
Menurut Bambang, pemanfaatan terbesar dari teknologi adalah bagaimana mengukur kubah, tebal, dan kandungan air di lahan gambut. “Metodologi ini akan mendukung perolehan data elevasi topografi untuk lahan gambut, termasuk kubah gambut, yang dapat digunakan untuk memahami tingkat air tanah dan penilaian hidrologi lainnya untuk tujuan restorasi,” lanjutnya.
Bambang yang juga Ketua Dewan Riset Nasional (DRN) mengatakan kompetisi Indonesian Peat Prize ini sangat penting karena menjadi cara baru yang diinisiasi oleh BIG dengan dukungan Yayasan David and Lucile Packard.
“Ini bukan hanya kemenangan konsorsium saya. Ini kemenangan iptek Indonesia. Indonesia sebagai pemilik gambut tropika terbesar di dunia melalui sebuah kompetisi teknologi bisa menguasai pemetaan gambut,” pungkasnya.
Artikel Terkait : Inilah Lima Tim Finalis Indonesian Peat Prize