Struktur kurikulum dan sistem Satuan Kredit Semester (SKS) perguruan tinggi di negara maju memiliki perbedaan mendasar dengan perguruan tinggi di Indonesia. Jumlah mata kuliah di perguruan tinggi terkemuka luar negeri cenderung lebih sedikit tapi beban proses pembelajarannya lebih intensif.
Berbeda dengan perguruan tinggi di Indonesia yang cenderung menawarkan lebih banyak jumlah mata kuliah, namun praktek proses pembelajaran tidak mendalam. Padahal, panduan beban kerja mahasiswa dari Dikti mensyaratkan mata kuliah untuk diisi dengan aktivitas pembelajaran yang intensif. Namun dalam prakteknya, aktivitas pembelajaran tersebut tidak sepenuhnya diterapkan.
Hal tersebut menjadi salah satu hasil studi kebijakan desain kurikulum dan penerapan SKS di perguruan tinggi yang dilakukan oleh Lembaga Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM-FEUI). Studi ini bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang makna SKS dan beban studi mahasiswa, serta analisis praktik kebijakan SKS di sejumlah perguruan tinggi di Indonesia dan dunia.
Ketua Tim peneliti LPEM-FEUI, Dr Rangga Handika menyampaikan belum ada kejelasan untuk dasar penetapan jumlah minimum SKS di Indonesia. Beban SKS tersebut melebihi beban kerja mahasiswa di perguruan tinggi dunia.
“Mahasiswa Indonesia dituntut membagi waktunya guna mempelajari beraneka ragam mata kuliah. Sementara mahasiswa di luar negeri memiliki lebih banyak kesempatan memperdalam pemahamannya atas mata kuliah yang jumlahnya relatif terbatas,” ungkap Rangga dalam diskusi tentang Jumlah Satuan Kredit Semester (SKS) di Hotel Atlet Century, Jakarta pada Rabu (8/7/2015). Diskusi ini didukung oleh Tanoto Foundation.
Dari hasil kajian, Rangga menyampaikan rekomendasi pada perguruan mencakup pengintegrasian mata kuliah yang bersifat tematik, pemetaan mata kuliah untuk mencapai kompetensi mahasiswa, dan menyesuaikan mata kuliah dengan dunia usaha dan profesi. Sedangkan rekomendasi untuk pemerintah adalah mengevaluasi kembali persyaratan jumlah minimum SKS yang bersifat seragam.
Dalam kesempatan yang sama Ketua Pengurus Tanoto Foundation, Sihol Aritonang menyatakan bahwa jumlah lulusan SMA yang meneruskan ke Perguruan Tinggi meningkat dari 35,3% pada 2006/2007 menjadi 51,3 pada 2010. “Namun secara keseluruhan peringkat Perguruan Tinggi di Indonesia masih di bawah peringkat Perguruan Tinggi lainnya di Asia,” lanjutnya.
Untuk mendukung peningkatan mutu pendidikan, Tanoto Foundation mendukung pengembangan software dengan perguruan tinggi mitra meliputi riset, kegiatan ilmiah non riset, dan kolaburasi antar institusi. “Untuk hardware, Tanoto Foundation mendukung pengembangan infrastruktur dan pembangunan perguruan tinggi mitra,” kata Sihol.
Tanoto Foundation juga mendukung peningkatan akses pendidikan melalui pengadaan lebih dari 5.200 beasiswa dan kerjasama dengan 28 perguruan tinggi di Indonesia. Di tingkat sekolah, Tanoto Foundation bermitra dengan lebih dari 320 sekolah di Sumatera Utara, Jambi, dan Riau.