{jcomments on}Judul : Perempuan Mendahului Zaman, In Search of Living Traditions and Arts.
Penulis : Thung Ju Lan, Musiana Adenan, Yasmin Sungkar, Eko Widodo
Tebal : xxvii + 154 halaman
Penerbit : LIPI Pers danYayasan Obor Indonesia
Cetakan : I, Februari 2010
Paramita Rahayu Abdurachman (Yo Paramita) adalah salah satu wanita peneliti generasi pertama di Lembaga Research Nasional (cikal-bakal LIPI). Karya-karya Yo Paramita memperlihatkan kemajuan pikirannya sebagai perempuan, mencerminkan jiwa bebas yang tidak terkungkung batas-batas budaya, bahkan mampu menembus dimensi ruang dan waktu. Hal ini merupakan suatu kelangkaan pada zamannya.
Perempuan yang lahir di Bogor pada 29 Februari 1920 ini dibesarkan dalam keluarga priyayi. Yo Paramita merupakan putri bungsu Raden Abdurachman, Bupati di Meester Cornelis (kini daerah Jatinegara). Pemikirannya yang sudah jauh ke depan, seperti menurun dari ibunya, Siti Khadijah yang pernah menulis buku Kenang-kenangan: Tiada Pernah Padam (1965).
Ketika berusia 20 tahun, Yo Paramita bersekolah di Faculteit der Lettere en Wijsbegeerte jurusan Sejarah dan Antropologi (sekarang Universitas Indonesia). Ketika Jepang masuk ke Indonesia, sekolah tersebut ditutup. Untuk mengisi waktu, ia bersama teman-temannya yang tergabung dalam kelompok fangse, mengikuti latihan pertolongan pertama di Palang Merah Hindia Belanda. Dibandingkan dengan perempuan seangkatannya, ia memang sangat termotivasi untuk larut dalam perjuangan bangsa.
Selanjutnya, Yo Paramita menjabat Pembantu Pemimpin Badan Pembantu Pradjurit Pekerdja dibawah Drs. Moh. Hatta (1944-1945). Ia juga bekerja sebagai Asisten Direktur Departemen Kehakiman untuk riset sosial pada almarhum Prof. Supomo dan Pembantu Menteri Luar Negeri di Kabinet Pertama Rl. Salah satu tugasnya adalah, bersama Herawati Diah menerjemahkan UUD 1945 ke dalam bahasa Inggris. Yo Paramita juga merupakan salah seorang yang ikut membidani lahirnya Korps Wanita Angkatan Darat (KOWAD) dan Sekjen wanita pertama di Palang Merah Indonesia (PMI).
Setelah berkiprah di PMI selama 10 tahun (1954-1964), Yo Paramita memutuskan untuk bergabung dengan Departemen Urusan Research Nasional yang membawahi Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI) yang kemudian menjadi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Pada 1965-1966, ia mendapatkan fellowship dari Netherlands Berau for Technical Assistance untuk melakukan riset atas bahan-bahan sejarah abad ke-16 dan ke-17 di Belanda, Inggris, Portugal, dan Spanyol.
Setelah pensiun dari LIPI pada 1985, Yo Paramita menjadi Advisor Majalah Travel Indonesia selama satu tahun (1987-1988). Ada dua karangannya yang diterbitkan di majalah ini yaitu Portuguese Influence on Flores and The Solor Islands dan Legacies of a Portuguese Past.
Karya-karya Yo Paramita pada umumnya menggambarkan pemikirannya tentang kontinuitas dan perubahan dalam bidang sejarah, tradisi dan seni yang membentuk hidup keseharian penduduk Nusantara yang bisa mengajak kita untuk menghargai asal-usul, perbedaan dan keragaman, serta the surviving of art melalui hasil akal-budi leluhur kita di bidang pertenunan dan perbatikan.