Judul : Knowledge and Innovation, Platform Kekuatan Daya Saing
Penulis : Zuhal
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal : x + 485 halaman
Cetakan: I, 2010
Kunci kemajuan suatu bangsa sejatinya adalah persaingan antarnegara yang dipicu oleh keinginan untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik di segala bidang, dari waktu ke waktu. Kompetisi ini juga tampak di bidang pengembangan ilmu pengetahuan yang notabene menjadi tulang punggung masyarakat modern.
Sepertinya, memang kurang “membumi” berbicara soal daya saing di tengah situasi ekonomi nasional dan global yang lesu. Tapi Prof. Dr. Ir. Zuhal, M. Sc. E. E. dalam buku Knowledge and Innovation, Platform Kekuatan Daya Saing ini justru meyakinkan pembaca bahwa isu platform daya saing sangat relevan dengan kondisi saat ini.
Dalam konteks itulah, dalam buku ini mantan Menteri Negara Riset dan Teknologi dalam Kabinet Reformasi itu berbicara tentang platform daya saing, yakni suatu sistem berpikir yang berkaitan dengan aspek penguasaan knowledge, kreativitas dan inovasi yang diperlukan untuk menjawab tantangan sistem ekonomi baru. Suatu era baru yang bermunculan dari berbagai kompetisi global yang mengalir ke segala arah.
Era baru ini bukan saja dicirikan oleh kompetisi global yang kian ketat, tetapi juga oleh kemunculan komunitas masyarakat yang terhubung erat dengan kegiatan saintifik, teknikal dan bisnis profesional.
Untuk memetakan kekuatan daya saing Indonesia dibandingkan dengan 60 negara lainnya, buku ini menggunakan metode dan temuan riset Prof. Stephane Garelli dari Institut of Management Development (IMD) di Lousanne, Swiss yang membandingkan keunggulan komparatif dengan kekuatan daya saing suatu bangsa.
Kekayaan sumber daya alam sebagai keunggulan komparatif seharusnya bisa meningkatkan daya saing bangsa Indonesia. Tapi lantaran berpandangan jangka pendek, Indonesia yang memiliki diversifikasi sumber daya alam (SDA) cukup beragam tidak ingin bersusah payah dan lebih suka mengekspor langsung bahan mentah agar memperoleh keuntungan segera.
Sementara negara-negara seperti Jepang, Korea, Taiwan dan Singapura justru fokus mentransformasikan SDA impornya menjadi produk-produk manufakturnya yang bernilai tambah tinggi, sehingga menjadi faktor pendongkrak daya saing mereka.
Karena itu keunggulan komparatif harus berkontribusi menjadi pelengkap dan secara sinergis berinteraksi dengan knowledge, teknologi dan keahlian, agar menjadi sumber competitive advance suatu bangsa untuk bersaing di masa depan. Namun di era knowledge-based economy (KBE), kita harus menempatkan knowledge dan iptek dengan benar agar tidak dipandang sebagai produk para ilmuwan yang terkungkung di laboratorium, tetapi harus bisa menjadi produk knowledge yang diminati pasar.
Untuk itu diperlukan pekerjaan lintas disiplin yang mendorong munculnya inovasi. Beberapa universitas di kelompok negara maju yang tergabung dalam Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) mulai mentransformasikan dirinya dari research university ke enterpreneurial university sebagai cara untuk mengetahui permintaan pasar.
Cepat atau lambat, masyarakat di semua negara bergerak ke arah knowledge-based society. Hanya saja, transformasi sosial negara kepulauan seperti Indonesia akan berlangsung lebih rumit. Belum lagi, sejumlah kendala lainnya seperti rendahnya anggaran dana riset. Salah satu cara efektif adalah melalui konsep Adi Marga National Information yang mengandalkan infrastruktur informasi dan komunikasi (TIK) .
Sistem Inovasi Nasional (Sinas) yang terpadu, secara metafora digambarkan oleh Zuhal dalam buku ini sebagai komposisi orkestra inovasi, dimana harmonisasi dan keselarasan dihasilkan berdasarkan proses ide, pengembangan ide, komersialisasi, dan evaluasi respon pasar terhadap produk dan jasa yang dihasilkan. Untuk itu orkestra inovasi mensyaratkan kehadiran seorang pemimpin yang bisa menjaga harmonisasi nada tersebut.