Nasib Coronavirus di Era Media Sosial

Technology-Indonesia.com – Sejak pertengahan Desember 2019, coronavirus menjadi trending topic dunia. Informasi penyakit emerging yang muncul di era media sosial menyebar secara sangat cepat bahkan lebih cepat dari penyebaran virus itu sendiri. Hal ini sangat kita rasakan perbedaanya saat beberapa penyakit zoonosis emerging merebak seperti SARS di tahun 2002-2003, H1N1pdm di tahun 2009 bahkan MERS-CoV di 2013.

Hampir semua level sosial, level usia dan pergaulan dapat sangat mengenal apa itu Coronavirus. Berita hoax ataupun misinformasi lainnya juga ikut menyumbang kepanikan dan obrolan di setiap grup seperti grup WhatsApp (WA).

Sebagai ilmuwan yang berkecimpung cukup lama di bidang riset virus RNA, saya akan memberikan sumbangsih tulisan apa yang perlu diketahui oleh masyarakat tentang Coronavirus dan apa bedanya dengan wabah yang sekarang sedang menjadi perhatian yaitu Coronavirus jenis baru COVID-19.

Genom Virus

Coronavirus merupakan virus RNA, yang tidak bersegmen, beruntai positif dan memiliki empat protein struktural utama yaitu protein Spike (S), Membran (M), Envelope (E) dan Nukleokapsid (N). Coronavirus memiliki angka mutasi dengan estimasi sebesar 4 × 10-4 substitusi nukleotida/situs/tahun. Sifat genom ini membuatnya mudah dalam mengakomodasi dan memodifikasi gen.

Terdapat empat genus di dalam subfamily Orthocoronavirinae di antaranya alphacoronavirus, betacoronavirus, gammacoronavirus dan deltacoronavirus. Alphacoronavirus dan betacoronavirus umumnya ditemukan pada mamalia, sedangkan gammacoronavirus dan deltacoronavirus ditemukan dapat menginfeksi burung dan mamalia. Beberapa coronavirus bersifat zoonosis, utamanya spesies pada genus betacoronavirus seperti SARS-CoV dan MERS-CoV.

Coronavirus Pada Hewan Domestikasi

Pada hewan ternak dan kesayangan, coronavirus dapat menginfeksi sapi, babi, kuda, unggas, kucing dan anjing. Infeksi coronavirus pada sapi disebabkan oleh bovine coronavirus (BCoV) dari genus betacoronavirus. Infeksi BCoV menyebabkan gangguan pada sistem pernafasan dan pencernaan pada pedet dan sapi dewasa diikuti dengan penurunan produksi dan reproduksi. Kondisi ini menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan pada industri sapi pedaging dan perah.

Feline Coronavirus pada bangsa kucing menyebabkan dua penyakit yaitu feline enteric coronavirus (FECV) dan feline infectious peritonitis (FIP). Pada anjing, canine coronavirus menyebabkan gastroenteritis yang ringan. Babi dapat terinfeksi coronavirus dari genus alphacoronavirus, betacoronavirus dan deltacoronavirus (Swine acute diarrhea syndrome coronavirus/SADS-CoV); Transmissible Gastroenteritis Virus (TGEV); Porcine Epidemic Diarrhea Virus (PEDV); Porcine hemagglutinating encephalomyelitis virus (PHE-CoV); dan Porcine deltacoronavirus (HKU15).

Pada bangsa unggas dapat ditemukan Infectious bronchitis virus (IBV) dan Turkey coronavirus. Keduanya menyebabkan penurunan produksi dan reproduksi. Equine Coronavirus (ECoV) yang termasuk dalam genus betacoronavirus menyebabkan penyakit pada kuda dengan gejala klinis demam, gangguan pencernaan berupa diare dan kolik.

Human coronavirus

Human coronavirus (HCoV) adalah penyebab infeksi saluran pernafasan pada manusia secara umum, termasuk bronchiolitis dan pneumonia. Hingga saat ini, telah terdeteksi 6 HCoV di antaranya OC43, 229E, NL63, HKU1, SARS-CoV, dan MERS-CoV. HCoV- OC43 termasuk dalam genus betacoronavirus yang ditemukan pertama kali pada 1967, sedangkan H-CoV 229E yang termasuk dalam genus alphacoronavirus pertama kali dideteksi pada 1962.

HCoV-OC43 dan HCoV-229E bertanggung jawab atas 10 hingga 30% dari flu yang umumnya terjadi pada manusia. Infeksi terjadi terutama selama musim dingin dan awal musim semi. HCoV-NL63 yang termasuk dalam genus alphacoronavirus diidentifikasi pertama kali pada tahun 2004 dari isolat pasien anak-anak dengan gejala klinis pneumonia dan infeksi saluran pernafasan. Selain itu, infeksi oleh HCoV-NL63 juga dikaitkan dengan terjadinya laringotracheitis akut HCoV-HKU1 diidentifikasi pertama kali pada 2004 dari pasien dengan manifestasi pneumonia.

Coronavirus Pada Hewan Liar

Coronavirus juga dapat ditemukan pada hewan liar seperti kelelawar, landak, kelinci liar dan rodensia (hewan pengerat). Kelelawar merupakan mamalia dengan kemampuan terbang yang sangat baik sehingga memiliki cakupan jarak migrasi yang lebih luas dibandingkan dengan mamalia darat. Cakupan jarak migrasi kelelawar yang jauh dihubungkan dengan kemampuannya dalam mentransmisikan berbagai penyakit di antaranya bat lyssaviruses (Rabies virus), henipaviruses (Nipah virus dan Hendra virus), CoVs (SARS-CoV, MERS-CoV, dan SADS-CoV), dan filoviruses (Marburgvirus, Ebola virus, dan Mengla virus).

Diversitas coronavirus sangat dihubungkan dengan keragaman spesies kelelawar. Terdapat lebih dari 1.200 spesies kelelawar di seluruh dunia yang membuat kelelawar menjadi ordo mamalia terbesar kedua setelah rodensia, terhitung sekitar seperlima dari semua spesies mamalia atau mewakili 20% keragaman mamalia di seluruh dunia. Anthony et al. (2017) mengestimasi bahwa setidaknya terdapat 3.204 coronavirus pada lebih dari 102 spesies kelelawar dan beberapa di antaranya bersifat zoonosis.

Beberapa coronavirus yang dapat ditemukan pada kelelawar yaitu Rhinolophus bat coronavirus HKU2; Miniopterus bat coronavirus HKU8; Miniopterus bat coronavirus 1A dan 1B; Bat Coronavirus HKU10; SARS-related Rhinolophus bat coronavirus HKU3; Tylonycteris bat coronavirus HKU4; Pipistrellus bat coronavirus HKU5; Rousettus bat coronavirus HKU9, dan lain-lain). Indonesia setidaknya memiliki lebih dari 200 spesies kelelawar dari jenis kelelawar pemakan buah (Megachiroptera) dan kelelawar pemakan serangga (Microchiroptera) atau setidaknya sebesar 20% dari spesies kelelawar di dunia (Suyanto, 2001).

Sistem metabolisme dan kekebalan spesifik yang dimilikinya memungkinkan kelelawar resisten terhadap berbagai jenis virus. Selain itu, tingginya populasi kelelawar diikuti dengan behaviour yang berkelompok menjadikan kelelawar sebagai inkubator virus yang ideal untuk terjadinya koinfeksi, rekombinasi dan penularan coronavirus secara intra-spesies.

Selain kelelawar, coronavirus mampu menginfeksi hewan lain seperti mamalia air di antaranya paus (Beluga Whale Coronavirus), lumba-lumba (Bottlenose dolphin Coronavirus) dan berbagai burung liar di antaranya Bulbul coronavirus HKU11 (BuCoV HKU11), Thrush coronavirus HKU12 (ThCoV HKU12), Munia coronavirus HKU13 (MunCoV HKU13), White-eye coronavirus HKU16 (WECoV HKU16) dan lain-lain.

Zoonotic coronavirus

Mekanisme transmisi zoonosis coronavirus masih menjadi perhatian besar sampai saat ini. Kejadian wabah SARS pada tahun 2002 dan MERS-COV pada tahun 2012 dikaitkan dengan transmisi virus yang terjadi di antara hewan dan manusia.

SARS-CoV (severe acute respiratory syndrome) menyebabkan penyakit dengan gejala klinis demam, batuk, batuk, sakit kepala, sakit otot dan infeksi saluran napas. SARS menyebabkan gejala klinis yang parah pada saluran pernafasan bagian bawah. Atipikal pneumonia akibat infeksi SARS disebabkan oleh peningkatan level sitokin dan kemokin.

Kasus kejadian wabah infeksi SARS di 29 negara mencapai 8.422 kasus dan 916 di antaranya bersifat fatal (CFR 11%). Guan et al. (2003) berhasil mengisolasi virus SARS-CoV like pada Himalayan palm civets (Paguma larvata), raccoon dog (Nyctereutes procyonoides) dan manusia yang bekerja pada pasar hewan di Guangdong, China. Kemiripan di antara SARS-CoV like pada Himalayan palm civets dan SARS coronavirus pada manusia mencapai lebih dari 99%.

Temuan tersebut juga mengindikasikan bahwa pasar hewan dapat menjadi tempat virus SARS-CoV like pada hewan untuk melakukan amplifikasi dan transmisi pada inang baru, termasuk manusia. Surveilans kemudian dilanjutkan pada hewan liar yang memiliki potensi dalam transmisi virus SARS. Kelelawar dari genus Rhinolophus terdeteksi menjadi inang alami SARS-like coronaviruses (SL-CoVs) yang memiliki kemiripan sekuens nukleotida sebesar 92% dengan SARS-CoV.

Pada tahun 2012, ditemukan novel coronavirus (HCoV-EMC) yang menyebabkan gejala klinis pneumonia pada manusia yang sebelumnya diketahui memiliki kontak dengan unta (Camelus dromedaries) yang menunjukkan gangguan sistem pernapasan. Selanjutnya HCoV-EMC disebut sebagai MERS-CoV adalah novel betacoronavirus lineage C. Hingga akhir tahun 2019, MERS-CoV secara global (27 negara) meyebabkan kasus infeksi sebesar 2.494 kasus dan 858 di antaranya bersifat fatal (CFR 34,4%) (CDC, 2019).

Memish et al. (2013) berhasil mengisolasi virus dari satu spesies kelelawar Taphozous perforatus yang memiliki kemiripan nukleotida sebesar 100% dengan virus MERS-CoV pada manusia. Berdasarkan analisis pohon filogenetik, MERS-CoV termasuk ke dalam lineage C betacoronavirus bersama dengan bat coronaviruses HKU4 dari spesies kelelawar Tylonycteris pachypus dan bat coronaviruses HKU5 dari spesies kelelawar Pipistrellus abramus. Berdasarkan hal tersebut, kelelawar dianggap menjadi reservoir dari MERS-CoV, mengingat banyak ditemukan spesies kelelawar di Saudi Arabia, termasuk Pipistrellus sebagai pembawa bat coronaviruses HKU5.

MERS-CoV yang termasuk ke dalam Betacoronavirus memiliki kedekatan dengan Tylonycteris bat CoV HKU4 (Ty-BatCoV HKU4) pada Tylonycteris pachypus dan Pipistrellus bat CoV HKU5 (Pi-BatCoV HKU5) pada Pipistrellus abramus di Hong Kong. Rousettus bat coronavirus HKU9 (BtCoV HKU9) pertama kali ditemukan pada R. leschenaultia di Guangdong dan pada Hipposideros sp di Yunnan. Kelelawar yang sama dapat mengalami koinfeksi dengan dua atau tiga genotype BtCoV HKU9 yang berbeda. Genotipe BtCoV HKU9 pada R. leschenaultia yang bervariasi diperoleh dari hasil kejadian mutasi dan rekombinasi.

Coronavirus (2019-nCoV yang sekarang menjadi COVID-19) menjadi virus zoonosis ketiga pada manusia yang mulai muncul pada Desember 2019, di Wuhan, Provinsi Hubei, Cina. Memiliki gejala klinis yang serupa dengan infeksi (SARS-CoV) dan infeksi (MERS-CoV) yaitu pneumonia termasuk demam, kesulitan bernapas, dan infiltrasi paru-paru bilateral pada kasus yang paling parah.

Chan et al. (2020) menyatakan bahwa secara analisis filogenetik strain virus COVID-2019 yang diisolasi dari pasien asal Shenzhen yang mengunjungi Wuhan pada 29 Desember 2019 adalah novel betacoronavirus yang termasuk ke dalam lineage B bersama dengan SARS coronavirus pada manusia dan diketahui memiliki kedekatan dengan bat SARSrelated coronaviruses yang ditemukan pertama kali pada Rhinolophus sinicus di Zhejiang, China pada tahun 2015-2017. Paraskevis et al. (2020) melalui analisis evolusi full-genome menyatakan bahwa COVID-2019 memiliki kemiripan sekuen sebesar 96,3% dengan bat-CoV RaTG13.

COVID-2019 dan Bat-CoV RaTG13 membentuk satu kluster dengan Bat SARS-like coronavirus. Sehingga COVID-2019 diperkirakan berasal dari kelelawar. Keseluruhan genom COVID-2019 memiliki 89% kemiripan dengan bat-SL-CoVZC45, sedangkan protein spike memiliki kemiripan nukleotida sebesar 84% dengan bat-SL-CoVZC45 dan 78% dengan SARS coronavirus pada manusia.

Terdapat 380 substitusi asam amino di antara sekuen COVID-2019 dan sekuen consensus dari virus SARS dan SARS-like. Zhang et al. 2020 menyatakan bahwa inang intermediate dari COVID-2019 lebih cenderung mengarah ke mamalia dan burung dibandingkan dengan ular, dan adanya insersi baru yang diobservasi pada pada protein spike secara alami berevolusi dari batCoV.

Ceraolo and Golgi, 2020 menunjukkan bahwa di antara sekuen genom COVID-2019 memiliki identity lebih dari 99%. Qiu et al. 2020 juga menyatakan bahwa COVID-2019 memiliki kemiripan epitope yang tinggi pada daerah binding site protein spike yang digunakan dalam mengikat reseptor ACE2 pada manusia. Meskipun COVID-2019 memiliki kemiripan yang relatif tinggi dengan virus SARS dan SARS-like, namun COVID-2019 memiliki furin-like cleavage site pada protein spike yang tidak dimiliki oleh betacoronavirus lainnya (termasuk virus SARS). Furinlike cleavage site mungkin berperan dalam siklus hidup virus dan patogenitasnya.

Inaktivasi dan Pencegahan

Beberapa reseptor inang yang digunakan oleh coronavirus untuk menginfeksi di antaranya: aminopeptidase N (HCoV-229E; FCoV; CCoV; TGEV; PEDV), angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2) (HCoV-NL63 dan SARS-CoV), dipeptidyl peptidase 4 (DPP4/CD26) (MERSCoV), 9-O-acetylated sialic acid (HCoV-OC43 dan HCoV-HKU1) dan Carcinoembryonic antigencell adhesion molecule (MHV).

Coronavirus yang merupakan virus beramplop (envelope) sensitive terhadap panas dan dapat secara efektif diinaktivasi oleh lipid solvents, 56ºC selama 30 menit, ether, alcohol 75%, disinfektan yang mengandung chlorine, peroxy acetic acid dan chloroform. Beberapa antisepticdesinfektan mampu menurunkan titer dari HCoV-229E di antaranya Sodium hypochlorite (0.1&0.5%), Chloramine T (0.1&0.3%), Sodium hypochlorite & potassium bromide (0.05&0.1%), Povidone-iodine (10%), Ethanol (70%), Glutaraldehyde (2%), n-alkyl-dimethylbenzyl chloride (0.04%) + HCl (7%), n-alkyl-dimethylbenzyl chloride (0.04%) + ethanol (70%), n-alkyldimethylbenzyl chloride (0.04%) + sodium metasilicat (0.5%) dan Chlorhexidine gluconate (0.05%) + cetrimide (0.5%) + ethanol (70%).

Coronavirus di Indonesia

Di Indonesia, penelitian coronavirus pada kelelawar dilakukan pada tahun 2012-2013 dan dipublikasi oleh Anandita et al. (2015). Penelitian dilakukan pada spesies kelelawar Dobsonia mollucensis, Acerodon celebensis, Pteropus sp dan Pteropus vampyrus di tiga lokasi yaitu Yogyakarta, Surabaya, dan Paguyaman.

Penelitian tersebut mendapati tiga sampel feses kelelawar asal Paguyaman dengan spesies Dobsonia mollucensis yang positif melalui uji nested RT-PCR menggunakan primer gen RdRp. Berdasarkan analisis pohon filogenetik, virus kelelawar asal Paguyaman tersebut termasuk ke dalam betacoronavirus dan memiliki kedekatan dengan BatCoV HKU9, HKU9-2, HKU9-5-2, HKU9-10-2 dari China dan BatCoV KY06 dari Kenya.

Pada 2020, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian melalui Balai Besar Penelitian Veteriner (BBLitvet) melakukan penelitian pada kelelawar di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat sekitar 16% sampel kelelawar positif Coronavirus dengan uji RT-PCR dan DNA Sequencing menggunakan primer gen RdRp dan termasuk ke dalam genus betacoronavirus.

Kapasitas Laboratorium

Sekuen genome COVID-2019 pertama kali dipublikasikan secara online oleh Dr. Yong-Zhen Zhang dan peneliti dari universitas Fudan satu hari setelah konfirmasinya. Kemudian menyusul 5 COVID-2019 lainnya dideposit di dalam database GISAID pada 11 januari 2020 dari CDC China, Wuhan Institute of Virology dan Chinese Academy of Medical Sciences & Peking Union Medical College memungkinkan peneliti di dunia dapat mengakses dan dapat dengan segera menganalisa COVID-2019.

Saat ini, peneliti di seluruh dunia dapat terhubung dalam sebuah wadah media sosial untuk saling membandingkan informasi sekuen terbaru. Teknologi saat ini telah memberi kemampuan para peneliti dan petugas kesehatan masyarakat untuk saling berbagi informasi terkini data secara real-time.

Hal tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi kemajuan besar dalam respon menghadapi wabah, dibandingkan dengan wabah-wabah terdahulu. Teknologi yang saling menghubungkan peneliti ini telah memfasilitasi kepedulian, kolaborasi penelitian dan respon tanggap yang cepat oleh komunitas peneliti seluruh dunia.

Dalam pengujian COVID 19 beredar di berbagai media sosial tentang kemampuan pengujian laboratorium di Indonesia terkait COVID-2019. Indonesia sangat memiliki kemampuan untuk dapat melakukan pengujian tersebut. Alasannya, Indonesia mempunyai laboratorium berkeamanan tinggi (Biosafety Level 3). Indonesia juga mempunyai lembaga-lembaga riset yang memiliki laboratorium dengan menggunakan advance biotechnology dan masih banyak laboratorium memiliki fasilitas yang sangat memadai bahkan sangat baik dalam melakukan pengujian penyakit emerging baik itu pada hewan maupun manusia atau penyakit zoonosis lainnya.

Untuk COVID-19, World Health Organization (WHO) menyediakan guidance untuk pengujian laboratorium yang bertujuan untuk memandu laboratorium yang terlibat dalam pengujian sampel dari pasien terduga COVID-19. Beberapa guidance WHO terkait dengan biosafety laboratory dan pengujian molekuler yang dikembangkan in house dan komersial.

Beberapa grup yang mengembangkan protokol pengujian diantaranya adalah China CDC, Jerman, HongKong, Japan, Thailand dan US CDC. Pegujian pengujian tersebut berdasar pada molecular assay dengan menggunakan beberapa primer pada regio seperi ORF1ab, N, OEF1b, E, Spike, RdRp dan lainnya. Selain itu masing-masing laboratorium mempunyai networking dan menjalin komunikasi dalam hal pengujian tersebut serta saling sharing baik itu bahan maupun metode. Jadi tidak perlu diragukan lagi tentang kemampuan Indonesia dalam mendeteksi penyakit COVID-2019.

(NLP Indi Dharmayanti, Peneliti Virologi Molekuler, Balitbangtan-BBLitvet, Kementerian Pertanian, disarikan dari berbagai sumber publikasi internasional)

Setiyo Bardono

Editor www.technologyindonesia.id, penulis buku Kumpulan Puisi Mengering Basah (Arus Kata, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (PasarMalam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).
Email: setiakata@gmail.com, redaksi@technologyindonesia.id

You May Also Like

More From Author