Perlunya Mitigasi Penyebaran Coronavirus dari Satwa Liar

Jakarta, Technology-indonesia.com – Coronavirus merupakan keluarga besar virus yang menyebabkan penyakit ringan seperti pilek dan penyakit yang serius seperti MERS dan SARS. Coronavirus adalah single stranded RNA (ssRNA) virus yang umum ditemukan pada berbagai hewan yang berkeliaran di atas tanah seperti mamalia, burung dan reptil.

Beberapa jenis coronavirus dikenal dapat menyebabkan infeksi akut pada saluran pernapasan bagian atas maupun bawah pada manusia, diantaranya adalah Severe Acute Respiratory Syndrome-related Coronavirus (SARS-CoV) yang menyebabkan kejadian luar biasa di Tiongkok pada 2002. Selanjutnya, Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus (MERS-CoV) yang mengakibatkan kejadian luar biasa di Arab Saudi pada 2012. Terakhir, novel Coronavirus (2019-nCoV) yang laporan gejala awalnya terjadi di Wuhan, Tiongkok pada 31 Desember 2019.

Kepala Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cahyo Rahmadi menjelaskan satwa liar yang secara alami dapat menyeberang lintas negara maupun dibawa dan dimanfaatkan oleh manusia untuk tujuan tertentu, hal ini perlu menjadi fokus mitigasi antisipasi zoonosis. Zoonosis adalah penyakit yang dapat ditularkan dari satwa liar ke manusia.

“Hewan yang dominan berpotensi membawa penyakit adalah tikus, kelelawar, celurut, karnivora dan kelompok primata seperti monyet,” ujar Cahyo dalam keterangan tertulis yang diterima Technology-Indonesia.com pada Sabtu (25/1/2020).

Peneliti bidang mikrobiologi dari Pusat Penelitian Biologi LIPI, Sugiyono Saputra menjelaskan coronavirus memiliki laju mutasi yang sangat cepat dibandingkan dengan jenis virus yang lain seperti double stranded DNA (dsDNA) virus sehingga kemunculan kejadian luar biasa dapat berlangsung cepat dan tidak terduga. Penyebaran secara global pun dapat terjadi dengan mudah dikarenakan mobilitas manusia yang tinggi.

“Penelitian menunjukkan ketiga jenis coronavirus yang bersifat mematikan terhadap manusia tersebut berasal dari kelelawar yang berperan sebagai perantara alaminya,” paparnya.

Menurut Sugiyono, walaupun memungkinkan namun interaksi langsung antara kelelawar dengan manusia sangatlah jarang. “Tetapi virus tersebut dapat pula menginfeksi hewan lainnya sebagai perantara, dan hewan perantara tersebutlah yang lebih sering berinteraksi langsung dengan manusia,” ujarnya.

Pada kasus SARS hewan perantaranya adalah mamalia kecil seperti kelelawar, musang, dan rakun. Pada kasus MERS, hewan perantaranya adalah unta. “Sedangkan pada kasus terbaru, material genetik dari 2019-nCoV merupakan rekombinasi dari material genetik virus yang berasal dari kelelawar dan ular,” ujarnya.

Hipotesis ini diangkat berdasarkan data terbaru yang dipublikasikan pada Journal of Medical Virology, hipotesis tersebut menjelaskan bahwa kode-kode protein atau material genetik 2019-nCoV memiliki kesamaan dengan material genetik yang berasal dari ular. Data tersebut diketahui setelah membandingkannya dengan lebih dari 200 jenis coronavirus dari berbagai hewan.

“Rekombinasi yang dimaksud adalah gabungan antara bagian selubung virus dari coronavirus asal kelelawar yang dikenal dapat menginfeksi manusia dan dari material genetik coronavirus yang berasal dari ular,” jelas Sugiyono. Spesies ular tersebut, lanjutnya, adalah Bungarus multicinctus atau the many-banded krait dan Naja atra atau the Chinese cobra.

Selubung virus atau viral spike merupakan bagian yang akan menempel atau menginfeksi sel inangnyanjika memiliki reseptor yang sesuai. “Mutasi bagian inilah yang menyebabkan coronavirus dari ular tersebut dapat menginvasi sel-sel pada saluran pernapasan manusia”, ungkapnya.

Sugiyono menjelaskan, masih diperlukan penelitian menyeluruh untuk menyimpulkan asal virus 2019-nCoV, yang merupakan bagian dari sub-kelompok kecil betacoronavirus, melalui identifikasi di tempat kerja dan laboratorium lebih lanjut. “Kendati demikian, para ilmuwan menduga bahwa mamalia adalah kandidat yang paling mungkin, seperti yang telah tervalidasi pada kasus SARS dan MERS sebelumnya,” jelasnya.

Taufiq P. Nugraha peneliti satwa liar dari Pusat Penelitian Biologi LIPI menambahkan, para ilmuwan menduga kemunculan penyakit zoonosis baru (new emerging infectious diseases) seperti kasus 2019-nCoV merupakan hasil tingginya frekuensi interaksi antara satwa liar dengan manusia.

“Jika berkaca pada kasus ebola di Afrika, deforestasi untuk pertanian dapat berperan dalam ekspansi kelelawar di luar habitatnya dan ekspansi manusia ke dalam habitat kelelawar, sehingga keduanya dapat saling berinteraksi bebas dan berisiko tinggi dalam penyebaran penyakit baru,” paparnya.

Dalam kasus 2019-nCoV, Taufiq menyebutkan kemungkinan orang yang berinteraksi langsung di pasar hewan di Wuhan, Tiongkok adalah yang pertama terkena penyakit infeksi tersebut.

“Interaksi langsung tersebut dapat melalui makanan maupun dalam proses pengolahan hewannya, baik hewan perantara maupun yang merupakan perantara alaminya,” tutup Taufiq.

Setiyo Bardono

Editor www.technologyindonesia.id, penulis buku Kumpulan Puisi Mengering Basah (Arus Kata, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (PasarMalam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).
Email: setiakata@gmail.com, redaksi@technologyindonesia.id

You May Also Like

More From Author