Pemanfaatan AI sebagai Solusi Inovatif Diagnosis Malaria yang Lebih Akurat dan Sensitif

TechnologyIndonesia.id – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Organisasi Riset dan Kesehatan (OR Kesehatan) mengembangkan sistem diagnosis malaria dengan memanfaatkan artificial intelligence (AI). Pendekatan mikroskopis berbasis AI akan membantu meningkatkan sensitivitas dan akurasi diagnostik, yang merupakan prasyarat untuk eliminasi malaria.

Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman BRIN, Puji Budi Setia Asih mengatakan bahwa malaria merupakan salah satu masalah kesehatan utama di Indonesia. Di Indonesia, jumlah penderita malaria masih banyak ditemukan di beberapa provinsi di wilayah timur, seperti Papua, Papua Barat, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, saat ini Papua menjadi wilayah dengan kasus malaria tertinggi di Indonesia, bahkan menyumbang sekitar 88% dari total kasus malaria di seluruh Indonesia pada tahun 2024.

Menurut Puji, salah satu kendala penanganan kasus malaria adalah belum adanya fasilitas yang cepat dan akurat di Puskesmas yang merupakan fasilitas kesehatan terdepan (tingkat 1) di masyarakat. Penanganan kasus malaria saat ini menggunakan pemeriksaan mikroskopis dan Rapid Diagnostic Test (RDT).

“Pendekatan mikroskopis berbasis kecerdasan buatan (AI) akan membantu meningkatkan sensitivitas dan akurasi diagnostik, yang merupakan prasyarat untuk eliminasi malaria,” ungkap Puji saat menjadi nara sumber dalam Media Lounge Discussion (MELODI) pada Rabu (7/5/2025).

“Data yang digunakan dalam pengembangan ini berasal dari berbagai pelosok Indonesia, memungkinkan sistem untuk mengenali beragam spesies parasit malaria,” imbuhnya.

Menurut Puji, sistem diagnosis malaria merupakan hal yang sangat krusial untuk menentukan penanganan ke tahap selanjutnya, seperti penentuan pengobatan dan tingkat keparahan penyakit.

Pengembangan kecerdasan buatan (AI), diharapkan dapat membantu secara signifikan dalam menurunkan kasus malaria melalui early diagnosis and prompt treatment khususnya di daerah terpencil di Indonesia.

Pengembangan riset kecerdasan buatan atau (AI) untuk deteksi malaria ini dilakukan bersama dengan Pusat Riset Riset Kecerdasan Artifisial dan Keamanan Siber (PRKAKS) BRIN. Pengembangan diagnosis malaria ini berbasis algoritma Plasmodium.

“Tantangannya sangat besar karena belum ada standarisasi pewarnaan yang tepat untuk gambar yang akan dianalisis, dan saat ini pengembangannya juga ditambah dengan AI,” katanya.

Puji menyampaikan bahwa pengembangan kecerdasan buatan dapat digabungkan dengan teknologi lain seperti drone untuk dapat membantu mencari tempat perindukan nyamuk malaria (Anopheles breeding sites). Dengan demikian, Puskesmas dapat melakukan Tindakan untuk mematikan larva nyamuk di tempat tersebut.

“Penemuan sumber larva atau larva source management untuk Anopheles melalui AI sangat membantu program pengendalian malaria di Indonesia,” ucapnya.

Pengembangan kecerdasan buatan juga diharapkan dapat membantu menentukan morfologi nyamuk apakah ini merupakan nyamuk penyebab malaria atau bukan. Selanjutnya, dapat dilakukan pemeriksaan di laboratorium basah (wet lab) untuk menentukan sebagai vektor malaria atau bukan.

Riset malaria yang ada di BRIN, selain menghasilkan ilmu pengetahuan di bidang malaria, juga bertujuan untuk membantu percepatan eliminasi malaria di Indonesia pada tahun 2030.

Kepala Pusat Riset Kecerdasan Artifisial dan Keamanan Siber (PRKAKS) BRIN, Anto Satriyo Nugroho menjelaskan bahwa sistem diagnosis malaria menggunakan AI, dirancang secara otomatis menentukan status infeksi malaria pasien melalui analisis mendalam microphotograph sediaan darah tipis dan tebal.

Data yang digunakan dalam pengembangan ini berasal dari berbagai pelosok Indonesia, memungkinkan sistem untuk mengenali beragam spesies parasit malaria.

“Pengembangan sistem ini memanfaatkan ekstraksi fitur morfo-geometris yang memungkinkan AI untuk mengidentifikasi karakteristik ukuran dan bentuk sel darah yang terinfeksi,” terangnya.

Anto mengakui adanya tantangan dalam pengembangan sistem diagnosis malaria. Tantangan itu berupa adanya perubahan morfologi parasit malaria selama siklus hidup nyamuk tersebut.

“Perubahan morfologi parasit malaria selama siklus hidupnya menjadi tantangan untuk diagnosis dan menjadi perhatian,” harapnya.

Anto sangat optimis bahwa penelitian dan pengembangan AI yang berkelanjutan akan mampu menciptakan alat diagnosis yang sangat penting dan berkontribusi signifikan dalam upaya pemberantasan malaria di Indonesia.

Setiyo Bardono

Editor www.technologyindonesia.id, penulis buku Kumpulan Puisi Mengering Basah (Arus Kata, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (PasarMalam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014). Buku terbarunya, Antologi Puisi Kuliner "Rempah Rindu Soto Ibu"
Email: setiakata@gmail.com, redaksi@technologyindonesia.id

You May Also Like

More From Author