Jakarta, Technology-Indonesia.com – Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, proporsi status gizi sangat pendek dan pendek pada balita Indonesia berada di angka 30,8% pada 2018. Status gizi sangat pendek dan pendek ini menimbulkan masalah stunting (kekerdilan) yakni masalah gizi kronis dengan indikasi tinggi badan tidak optimal. Di sisi lain, prevalensi diabetes naik dari 6,9% menjadi 8,5%.
Yuly Astuti dari Pusat Penelitian Kependudukan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan tingginya prevalensi stunting di Indonesia bukan perkara mudah untuk diselesaikan. Perlu upaya perbaikan yang bertujuan untuk mencegah dan mengurangi gangguan secara langsung (intervensi gizi spesifik) serta upaya untuk mencegah dan mengurangi gangguan secara tidak langsung (intervensi sensitif).
“Intervensi gizi spesifik umumnya dilakukan di sektor kesehatan dan ditujukan kepada ibu hamil serta anak dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan. Namun, intervensi ini hanya berkontribusi sebesar 30% untuk penurunan stunting,” jelas Yuly dalam Media Briefing Hari Gizi dengan topik “Penurunan Prevelensi Stunting dan Diabetes melalui Nutrisi dari Pangan Lokal” di Jakarta pada Kamis (28/2/2018).
Yuly menjelaskan, kontribusi 70% lainnya berupa intervensi gizi sensitif yang melibatkan berbagai sektor di luar sektor kesehatan, seperti ketahanan pangan, ketersediaan air bersih dan sanitasi, penanggulangan kemiskinan, pendidikan, sosial, dan sebagainya. Sasaran dari intervensi gizi spesifik adaah masyarakat umum, tidak khusus untuk sasaran 1.000 Hari Pertama Kehidupan.
Penyebab anak mengalami stunting (kekerdilan), papar Yuly, antara lain karena faktor gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun anak balita, kurangnya pengetahuan ibu mengenai/ kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan serta setelah ibu melahirkan, dan masih kurangnya akses kepada makanan bergizi karena makanan bergizi di Indonesia masih tergolong mahal.
Faktor lainnya adalah masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan Ante Natal Care (Pelayanan kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan), post natal care, dan pembelajaran dini yang berkualitas.
Lebih lanjut Yuly menerangkan bahwa stunting akan memberi dampak jangka pendek berupa peningkatan kejadian kesakitan dan kematian bayi, terganggunya perkembangan otak, gangguan perkembangan fisik, gangguan perkembangan kognitif, motorik, dan verbal pada anak, serta peningkatan biaya kesehatan. Dampak jangka panjang, menurunnya kemampuan kognitif, meningkatnya penyakit tidak menular (jantung, diabetes, stroke), produktivitas dan kapasitas kerja yang tidak optimal.
Yuly telah melakukan riset di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) terkait bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). Provinsi NTB merupakan salah satu provinsi prioritas untuk intervensi stunting. “Kota Mataram memiliki kasus stunting yang tinggi, yakni sebesar 37,8%. Salah satu penyebab tingginya stunting di Mataram ditengarai akibat bayi BBLR,” ujarnya.
Inovasi daerah yang dapat dijadikan rujukan untuk penanganan kasus BBLR ditemukan di Puskesmas Pejeruk, Mataram. “Pengelola Puskesmas memiliki inovasi berupa SIGAP BBLR dan Peduli Ibu Hamil Anemia (PIHA), dan intervensi anemia pada remaja putri,” jelasnya.
Pelayanan kesehatan yang diberikan Puskesmas Pejeruk dilakukan melalui pendekatan keluarga secara integrasi dan berkesinambungan mengikuti siklus hidup. “Lesson learned dari inovasi daerah untuk pencegahan stunting akibat bayi BBLR diperlukan kolaborasi dan partisipasi aktif antara petugas kesehatan, keluarga, dan komunitas,” pungkasnya.