Jakarta, Technology-Indonesia.com – Polusi udara di beberapa kota di Indonesia terutama di Jakarta menjadi pembicaraan publik. Kondisi tersebut menimbulkan adanya anggapan stasiun pengukuran di Indonesia belum merata. Terutama pada kota yang belum memiliki stasiun cuaca yang representatif.
Melansir dari laman brin.go.id, Kepala Pusat Riset Iklim dan Atmosfer (PRIMA) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Albertus Sulaiman menyampaikan, hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi para pegiat pemantau kualitas udara.
Menurutnya, untuk menghadirkan stasiun cuaca yang representatif di Indonesia, diperlukan sinergi dari para pegiat pemantau kualitas udara, masyarakat, akademisi, para peneliti, dan pemerintah.
“Tidak hanya teknologi insitu, tetapi juga teknologi remote sensing, mengingat begitu luasnya wilayah Indonesia,” tutur Albertus pada webinar Peluang dan Tantangan Pemantauan Kualitas Udara di Indonesia pada Selasa (5/9/2023).
Dirinya lebih lanjut menyampaikan, langkah dalam pengukuran, monitoring, kemudian alat apa yang tepat untuk digunakan akan memberikan pemahaman terhadap perilaku polusi udara, sehingga dari sanalah pengambilan suatu kebijakan untuk penanggulangan dilakukan.
Perekayasa Ahli Madya PRIMA BRIN R. Djoko Goenawan menyebutkan, polusi udara yang terjadi di luar ruangan memberi pengaruh terhadap kondisi udara di dalam ruangan. Terdapat persyaratan kualitas udara dalam ruangan berdasar Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1077/Menkes/PER/2011, yaitu memenuhi kualitas fisik meliputi suhu, pencahayaan, kelembaban, laju ventilasi, PM 2.5, dan PM 10.
Dirinya dan tim mengkaji sistem pembersih udara portable dengan anion generator yang sebelumnya telah dilakukan penelitian oleh V.S. Sawant, dkk pada 2011. Hasil rancangan yang diintegrasikan dengan sensor Particulate Matter GP2Y1010AU0F tersebut memiliki akurasi sebesar 95,88 persen sehingga dapat mengurangi polutan Particulate Matter selama satu menit.
Sementara itu, Piotr Jakubowski dari NAFAS Indonesia menyampaikan bahwa best practices seputar kalibrasi dan akurasi data telah dikembangkan di seluruh dunia.
“Dengan hal ini, kita tidak mulai dari nol, best practices seputar kalibrasi dan akurasi data sudah ada di banyak negara di seluruh dunia,” tegasnya.
Lebih lanjut dalam temuannya, Piotr menjelaskan berdasarkan data PM 2.5 bulanan di Jabodetabek 2021-2023, kondisi polusi udara saat ini tidak lebih buruk dari Juli 2021.
“Karena sekarang polusi udaranya tinggi ini masuk ke (pemberitaan) media, ini masuk ke dalam mindset kebanyakan orang. Tetapi ternyata di bulan Juli di tahun 2021, polusi udara lebih tinggi dari kondisi saat ini. Namun tidak ramai dibicarakan karena saat itu ada pembatasan kegiatan di masyarakat karena pandemi Covid-19,” ungkapnya.
Permasalahan kualitas udara bukan Jakarta saja, namun menjadi masalah kota-kota besar di Indonesia. “Jadi, strategi-strategi yang dijalankan harus ada pemikiran skala nasional juga,” ungkap Piotr.
Selanjutnya, Indra Chandra dari Fakultas Teknik Elektro Telkom University menjelaskan tantangan komprehensif dalam pengelolaan lingkungan.
“Di daerah hulu terdapat dua hal, yaitu ketergantungan alat impor, di mana belum ada produk lokal terkait instrumentasi analytic atau pengembangan sensor, sementara microsensor ini merupakan adaptasi pengembangan teknologi yang diharapkan bisa langsung digunakan. Hal lainnya adalah kapasitas sumber daya manusia, salah satunya melalui pelatihan-pelatihan khusus,” jelasnya.
Dia mengulas, untuk daerah ‘tengah’ meliputi kesinambungan penggunaan alat dan stasiun ukur, di mana di sini diharapkan adanya laboratorium lokal yang bisa digunakan untuk keberlanjutan project, karena rasanya bila project selesai, maka alat pun akan selesai juga.
Kemudian, kata Indra, ketiadaan dan keterbatasan data yang memadai dan tersedia juga harus menjadi pertimbangan dan selanjutnya adalah keberlanjutan keuangan.
Sementara untuk daerah hilir, ada empat hal, yaitu pengembangan standar dan protokol, kebijakan nasional dan sinkronisasi dengan program internasional, penegakan hukum, dan partisipasi masyarakat yang kurang.
Indra juga menjelaskan bahwa polusi udara ini tidak hanya dari satu sumber saja, tetapi banyak, diantaranya adalah dari industri-industri yang ada, serta kendaraan, bahkan dari pembakaran pun ikut andil.
“Ketika hujan mungkin tidak akan terlihat polusi yang ada, karena berpindah dari udara ke daratan melalui hujan, manusia tidak akan tahu, tapi akan terlihat pada bangunan-bangunan yang terkena hujan asam,” pungkasnya.