Jakarta, Technology-Indonesia.com – Badan Standardisasi Nasional (BSN) hingga saat ini telah menetapkan 28 Standar Nasional Indonesia (SNI) baru terkait penanganan Covid-19. SNI tersebut diharapkan segera diterapkan oleh pemangku kepentingan terutama industri di bidang alat kesehatan, termasuk alat perlindungan diri (APD).
Direktur Pengembangan Standar Agro, Kimia, Kesehatan dan Halal BSN, Wahyu Purbowasito mengatakan, sesuatu yang terkait keamanan dan keselamatan manusia, adalah hal yang tidak bisa ditawar-tawar. Karenanya, sejak 24 April 2020 BSN telah berupaya mempercepat penyusunan usulan 32 SNI baru terkait penanganan Covid-19.
Setelah melalui proses jajak pendapat pada 11 – 31 Mei 2020 yang telah diumumkan melalui website resmi dan media sosial BSN, saat ini BSN menetapkan 28 SNI, 14 diantaranya SNI terkait APD. “28 SNI terkait Covid-19 merupakan adopsi dari standar internasional (ISO) maupun standar regional, dalam hal ini dari eropa (EN),” ujar Wahyu di Jakarta, Jumat (7/8/2020).
SNI yang telah ditetapkan BSN antara lain terkait masker medis, alat pelindung pernafasan, pelindung mata personal, sarung tangan medis sekali pakai, sarung tangan pelindung, pakaian dan kain bedah, pakaian pelindung, ventilator paru, peralatan anestesi dan pernapasan, peralatan elektromedik, serta sistem manajemen biorisiko laboratorium.
Proses pengembangan SNI, secara umum mempertimbangkan beberapa hal, diantaranya kebutuhan penyusunan SNI yang mendesak dan harmonisasi dengan standar internasional. “Penyusunan standar dalam mendukung penanganan Covid-19 termasuk penyusunan yang mendesak. Oleh karena itu prosesnya pun kami percepat,“ jelas Wahyu
Kendati demikian, Wahyu memastikan seluruh proses sudah melalui tahapan yang benar, termasuk proses jajak pendapat. “Salah satu ciri khas SNI adalah disusun berdasarkan konsensus. Maka sebelum kami menetapkan SNI, semua warga Indonesia berhak memberikan tanggapan atas SNI yang sedang kami susun, termasuk SNI terkait Covid-19. Jajak pendapat bisa diakses dan diikuti melalui website BSN: http://sispk.bsn.go.id/EBallot/DJPPS,” tuturnya.
Perumusan SNI yang dirumuskan selaras dengan standar internasional, tambahnya, bisa melalui adopsi identik dan modifikasi. Hal ini dilakukan untuk menjamin transparansi serta mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan dasar untuk memfasilitasi perdagangan global.
Selain itu, prinsip dasar agar SNI memperoleh keberterimaan yang luas antara para stakeholder, maka SNI dirumuskan dengan memenuhi WTO Code of good practice, yakni terbuka, transparan, konsensus dan tidak memihak, efektif dan relevan sesuai kebutuhan pasar, koheren, serta development dimension (berdimensi pembangunan).
Oleh karenanya, kata Wahyu, penetapan SNI dilakukan setelah melalui tahapan perumusan SNI, dari penyusunan konsep, rapat teknis, rapat konsensus, jajak pendapat, pembahasan rancangan SNI berdasar jajak pendapat, sampai penyempurnaan rancangan SNI. “Penyusunan SNI melibatkan konseptor, komtek, pemangku kepentingan, bahkan bila diperlukan juga melibatkan tenaga pengendali mutu SNI,” jelas Wahyu.
SNI yang ditetapkan oleh BSN, berlaku secara sukarela. Namun, apabila diperlukan, pemerintah melalui kementerian/lembaga terkait dapat memberlakukan SNI secara wajib. Berdasarkan data, hingga bulan Mei 2020 BSN telah merumuskan 13.125 SNI dimana 10.865 SNI merupakan SNI yang masih aktif digunakan. Dari jumlah tersebut, SNI yang telah diwajibkan per Juli 2020 sebanyak 235 SNI.
Penetapan SNI terkait Covid-19 diharapkan segera diterapkan oleh pemangku kepentingan terutama industri di bidang alat kesehatan, termasuk APD. Penggunaan produk yang terjamin kualitas dan standarnya, tentu akan memberikan rasa aman dan nyaman yang lebih bagi penggunanya.
“Kita semua berharap, para tenaga medis selalu terlindungi dari tertularnya virus berbahaya tersebut, agar mereka dapat terus menjalankan tugas mulia, menyembuhkan pasien dan memutus mata rantai penularan Covid-19,” pungkasnya.