Adi Sadewo Salatun Paparkan Perkembangan Peroketan LAPAN di Diskusi CTIS

TechnologyIndonesia.id – Perkembangan roket di Indonesia bermula dari Presiden Soekarno yang memandang kalau Indonesia harus mempunyai kemampuan tidak hanya di matra laut, darat dan udara, tapi juga di matra antariksa. Ia kemudian memanggil Komodor Udara Salatun untuk membentuk Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasonal (LAPAN) pada 27 November 1963.

Hal itu disampaikan Dr. Ir. Adi Sadewo Salatun MSc, Kepala LAPAN periode 2006-2010 dalam diskusi bertajuk “Perkembangan Peroketan LAPAN” yang digelar oleh Center for Technology and Innovation Studies (CTIS) atau Pusat Kajian Teknologi dan Inovasi di Jakarta pada Rabu (23/11/2023).

Selanjutnya, LAPAN bekerjasama dengan TNI Angkatan Darat, PINDAD, dan Institut Teknologi Bandung (ITB) membuat Roket Kartika-1 dan Kartika-2. Sayangnya, Roket Kartika-2 mengalami kegagalan.

“Roket Kartika-1 uniknya karena waktu itu belum ada GPS, jadi tidak bisa mengukur ketinggian dan lain-lain, serta tidak ada radar aktif. Akhirnya, menggunakan accelerometer yang diintegrasi menjadi dua kali,” terang Adi Sadewo.

Menurutnya, ground system Roket Kartika-1 yang didesain oleh Prof. Iskandar Alisyahbana mampu menerima sinyal dari Satelit Tiros, satelit cuaca milik Amerika yang pertama. LAPAN juga mengembangkan bahan bakar roket yang lebih stabil. “Itu yang luar biasa,” imbuhnya.

“Roket LAPAN didesain agar bagaimana menggunakan energi minimum untuk mencapai ketinggian maksimum,” terang Adi Sadewa.

Roket Kartika-1 diluncurkan di Pameungpeuk, Kabupaten Garut, Jawa Barat pada 14 Agustus 1964. Peluncuran itu membuat Indonesia menjadi negara kedua di Asia yang meluncurkan roket buatan sendiri. Peristiwa bersejarah tersebut menjadi Roket Kartika-1 menjadi logo LAPAN.

Pada 1965-1970, LAPAN melakukan riset roket Jepang yaitu Roket LAMBDA dan Roket KAPPA-8. Pada 1977, Roket KAPPA-8 diluncurkan di Pameungpeuk, Jawa Barat.

Lapan juga mengembangkan Satelit LAPAN ORARI. Menurut Adi Sadewo, satelit ORARI penting karena 70 ribu anggota ORARI ada di seluruh Indonesia. “Jika terjadi bencana ORARI satu-satunya yang akan memberikan bantuan komunikasi karena kebanyakan semua sistem komunikasi mati,” terangnya.

Selain itu, LAPAN juga mengembangkan mikro satelit LAPAN-A1 Tubsat, LAPAN A2-Orari, dan LAPAN-A3/IPB. Saat ini, LAPAN terintegrasi ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional menjadi Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa.

Pada diskusi tersebut, Anggota Dewan Pembina CTIS, Prof. Dr. Ir. Indroyono Susilo menyampaikan bahwa CTIS berperan mengadakan kajian dan memberikan masukan kepada pemerintah maupun swasta terkait dengan pengkajian dan penerapan teknologi.

“Anggota CTIS terdiri dari para ahli dan senior yang berpengalaman di berbagai bidang. Kita berkumpul untuk membahas berbagai isu. Hasil pembahasan biasanya kita laporkan atau informasikan ke stakeholder baik pemerintah, swasta maupun media,” terang Indroyono.

Menurutnya, banyak hasil kajian CTIS yang secara langsung atau tidak langsung menjadi policy atau diterapkan oleh stakeholder.

Doktor Bidang Kendali Satelit

Adi Sadewo Salatun merupakan putra mantan Kepala LAPAN yang ketiga yaitu Alm. Marsekal J. Salatun. Pria kelahiran Jakarta, 28 Desember 1950 ini setelah menamatkan Pendidikan Sarjana Teknik di Institut Teknologi Bandung (ITB), bergabung dengan LAPAN.

Pada tahun 1977, Adi Sadewo memperoleh kesempatan on the job training di DFVLR, Jerman (waktu itu Jerman Barat) di bidang kendali roket di Obepfaffenhoven.

Setelah itu, ia memperoleh beasiswa dari Presiden Suharto untuk mendalami bidang kendali satelit dibimbing oleh pakar struktur dan sistem kendali, Prof. Peter M. Bainum, dan memperoleh gelar Master of Science pada 1981.

Sambil melaksanakan tugasnya di LAPAN, Adi Sadewo melanjutkan program doktor dalam bidang sistem kendali satelit berbadan lentur dengan menggunakan roda momentum berengsel, dibawah bimbingan Alm. Prof. Wiranto Arismunandar dan Alm. Prof. Dr. Ir. Said D. Jenie dan menyelesaikannya pada 1988 dengan judicium cumlaude.

Selama bertugas di LAPAN, Adi Sadewo telah menerima tujuh tanda jasa, diantaranya Satya Lencana 10, 20, dan 30 tahun, Satya Lencana Wirakarya dan Bintang Jasa Utama dari Presiden Republik Indonesia.

Setiyo Bardono

Editor www.technologyindonesia.id, penulis buku Kumpulan Puisi Mengering Basah (Arus Kata, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (PasarMalam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).
Email: setiakata@gmail.com, redaksi@technologyindonesia.id

You May Also Like

More From Author