Masyarakat Peduli Energi dan Lingkungan meminta pemerintah segera membangun pembangkit listrik tenaga nuklir karena tanpa PLTN pada 2025 Indonesia akan mengalami krisis energi.
Selain itu Indonesia tidak mampu memenuhi kebutuhan listrik yang mencapai 115 gigawatt, kata Ketua Penasihat MPEL Sutaryo Supadi pada Temu Wartawan bertema “Keprihatinan terhadap Pasokan Energi Jangka Panjang” di Jakarta, Kamis.
“Saat ini kapasitasnya hanya 40 GW, berarti untuk memenuhi target listrik 2025 itu Indonesia harus membangun pembangkit listrik 6.000 MW per tahun,” katanya.
Pertumbuhan listrik dengan kapasitas sebesar itu tidak bisa hanya mengerahkan pembangunan semua jenis pembangkit listrik energi terbarukan, seperti panas bumi, matahari, angin, air, biomassa, biofuel dan lainnya.
Sementara PLTN bisa menyuplai listrik namun jika prosesnya baru dimulai tender dan persiapannya sejak 2013 maka PLTN tersebut baru akan selesai dan bisa dimanfaatkan mulai sekitar 2023. Sehingga sudah sangat terlambat untuk mencukupi kebutuhan energi yang terus tumbuh.
Konsumsi listrik per kapita rakyat Indonesia, ujar Sutarya, sangat kecil, hanya 700 kWh per kapita pada 2012 dan ditargetkan Jadi 1.535 kWh per kapita pada 2025, angka ini jika dibandingkan dengan Korea Selatan yang memiliki puluhan PLTN hanya seperlimanya.
“Dengan target penyediaan listrik hanya 1.535 kWh per kapita pada 2025 itu, maka sasaran MP3EI 2025 GDP per kapita kita 14.250-15.000 dolar AS, tidak akan tercapai berhubung pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran sangat tergantung pada listrik,” katanya.
Karena itu, pemerintah tidak seharusnya main-main dengan ketersediaan energi dan harus memiliki sikap yang jelas tentang bagaimana mengatasi krisis listrik di masa depan.
Sutaryo juga mengatakan, PLTN meskipun investasinya besar mencapai sekitar Rp40 triliun untuk 1.000 MW, namun menyediakan listrik yang sangat murah yakni 4 sen dolar per kWh atau Rp400 per kWh, sementara harga listrik PLN saat ini Rp700 per kWh.