TechnologyIndonesia.id – Nyamplung (Calophyllum inophyllum) merupakan tanaman asli Indonesia yang memiliki potensi besar sebagai bahan bakar nabati (biofuel). Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof. Budi Leksono telah melakukan riset mendalam dalam pengembangan nyamplung sebagai sumber energi hijau yang potensial.
Proses pengembangan nyamplung dilakukan secara terpadu dari hulu ke hilir dengan prinsip tanpa limbah (zero waste), sehingga tidak hanya menghasilkan energi alternatif yang berkelanjutan, tetapi juga produk bernilai tambah dan ramah lingkungan.
Hasil pengembangan biodiesel berkelanjutan dan produk turunan nyamplung yang mencerminkan konsep zero waste ini dipamerkan dalam Indonesia Research and Innovation Expo (INARI Expo 2025) di JIExpo Kemayoran, Jakarta pada 28-30 Oktober 2025.
Dalam pameran tersebut, Prof. Budi menampilkan berbagai produk hasil olahan buah nyamplung, mulai dari proses pembuatan biodiesel hingga pemanfaatan limbah industri nyamplung yang dapat dibuat sabun alami berbahan gliserol, biochar, asap cair pengawet alami, hingga bungkil kaya protein untuk pakan ternak.
Ia menjelaskan bahwa penelitian ini telah dimulai sejak tahun 2008, saat dirinya masih menjadi peneliti di Departemen Kehutanan. Penelitian ini berawal dari krisis energi global yang terjadi pada 2006, sehingga dibutuhkan alternatif bioenergi.
Setelah mencari berbagai informasi, Budi menemukan tanaman nyamplung yang memiliki potensi sebagai biofuel dengan rendemen tinggi. “Nyamplung merupakan spesies tanaman asli Indonesia yang tumbuh di Pulau Sumatra hingga Papua,” terang Budi saat ditemui di INARI Expo pada Rabu (29/10/2025).
Saat itu, biodiesel dari buah nyamplung yang dikembangkannya sempat digunakan untuk road test. Hasilnya, mesin mobil stabil dan suaranya tidak kasar, asapnya berwarna transparan.
Melalui Program Desa Mandiri Energi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dibangun pabrik pembuatan biodiesel berkapasitas 250 liter/hari di lima lokasi. Sayangnya, program itu hanya berjalan satu tahun karena berbagai kendala.
“Dari permasalahan itu kami teliti dari hulu, proses, hingga pengolahan limbahnya. Setelah 15 tahun, akhirnya terjawab berbagai permasalahan tersebut,” terang Budi.
Dari persoalan hulu, menurut Budi harus tersedia bahan baku yang berkelanjutan, luasan minimal untuk industri hingga kapasitas industri. Selanjutnya proses teknologi pembuatan biodiesel dan bioavtur (sustainable aviation fuel/SAF). Terakhir, pengolahan limbah menjadi briket, arang aktif, pellet, pengawet alami, pakan ternak, biofarmaka dan sabun.
Beberapa inovasi tersebut telah memperoleh paten nasional, selain biodiesel nyamplung juga formula pakan ternak berbasis bungkil nyamplung dan produk kosmetik alami dengan kandungan kumarin tinggi yang berfungsi sebagai pelembab dan antiaging.
Budi menjelaskan bahwa riset untuk pada pengembangan nyamplung sebagai bioavtur, khususnya bahan bakar pesawat non-edible yang memenuhi standar International Civil Aviation Organization (ICAO) dilakukan dengan bekerja sama dengan Indonesia-Japan Business Network (IJBNet) dan Green Power Development Corporation of Japan (GPDJ). Targetnya, pada tahun 2030, Indonesia sudah bisa mengekspor bahan bakar nabati.
“Jadi sudah ada investor yang mengembangkan untuk skala industri. Masalahnya bagaimana nanti kita mengembangkan tanaman, produksi, hingga penyimpanannya. Riset kita masih terus berjalan,” imbuhnya.
Budi menjelaskan, tanaman nyamplung bila diserahkan kepada alam (regenerasi alami) tanpa sentuhan teknologi baru berbuah sekitar 7-9 tahun. Karena itu, Budi menanam tanaman nyamplung melalui proses seleksi pohon yang produktif buah dan rendemen minyaknya dengan menerapkan teknik silvikultur intensif. Akhirnya dihasilkan tanaman nyamplung yang lebih cepat berbuah, mulai belajar berbuah pada umur 1,5 tahun, dan dapat berproduksi massal pada umur 3 tahun.
Dari tanaman nyamplung di alam, rendemen crude oil paling tinggi ditemukan di Dompu, Nusa Tenggara Timur (NTT) sebesar 58%. Di Pulau Jawa, rendemen tertinggi sebesar 50% dari buah nyamplung di daerah Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Variasi ini disebabkan oleh interaksi antara genotipe dan lingkungan. Daerah kering cenderung menghasilkan kandungan minyak lebih tinggi.
“Setelah kita lakukan seleksi, potensi produksinya bisa 15-20 ton per hektare per tahun karena nyamplung berbuah sepanjang tahun. Dari hasil pemuliaan pohon nyamplung, rendemen crude oil dapat meningkat dari 50% hingga 69%, sedangkan dengan metode solven dapat meningkat hingga 74%,” terang Budi.
Selain keunggulan ekonomi, tanaman nyamplung juga berperan penting dalam mitigasi perubahan iklim. Analisis menunjukkan potensi serapan karbonnya rata-rata 18 ton/ha pada kisaran 13.66 – 27.50 ton/ha, menjadikannya tanaman strategis untuk mendukung transisi menuju ekonomi hijau dan net-zero emission.
Inovasi Energi Hijau, BRIN Kembangkan Nyamplung Jadi Bahan Bakar Nabati
