Jakarta, Technology-Indonesia.com – Untuk mewujudkan ketahanan energi, pemerintah Indonesia terus mengembangkan berbagai sumber energi alternatif, salah satunya bioetanol. Dalam produksi bioetanol, enzim selulase digunakan sebagai katalisator dalam tahap hidrolisis untuk menghasilkan gula sebelum difermentasi menjadi bioetanol.
Namun saat ini, kebutuhan enzim tersebut belum dapat terpenuhi, sehingga harus diimpor. Kebutuhan enzim ini terus meningkat dan sangat diperlukan industri. Karena itu, produksi enzim secara mandiri di Indonesia sangat dibutuhkan.
Untuk mencari solusi dari kendala tersebut, pada 2018 Pertamina telah melakukan kerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam riset pengembangan enzim selulase. Kini memasuki generasi kedua, kerja sama tersebut berlanjut dengan diratifikasinya perjanjian riset baru antara Pusat Riset Mikobiologi Terapan (PRMT), Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan (ORHL) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dengan Pertamina.
Perjanjian tentang Penelitian dan Pengembangan Pembuatan Enzim Selulase Rekombinan (Endo-Glukanase, Ekso-Glukanase, dan Beta Glukosidase) untuk Proses Produksi Bioetanol ditandatangani pada Jumat (29/9/2023) di Cibinong, Bogor, Jawa Barat.
Ahmad Fathoni selaku Kepala PRMT BRIN mengungkapkan, biofuel termasuk program riset utama BRIN. Concern Pertamina tersebut sejalan dengan program biofuel BRIN yang dicanangkan hingga 2029.
“Fokus riset PRMT adalah melakukan pengembangan enzim, sehingga dapat dimanfaatkan industri. Jadi bukan riset eksplorasi lagi, melainkan memanfaatkan sumber daya dari koleksi untuk diimprove agar termanfaatkan oleh industri,” ucapnya.
Ia berharap, masukan dan permasalahan yang dihadapi Pertamina dapat dikomunikasikan. Enzim-enzim apa saja yang dibutuhkan, sehingga menjadi riset yang dapat dikembangkan sebagai solusi permasalahan energi ramah lingkungan
Sejalan dengan pernyataan Fathoni, Dessy Andriani selaku Pjs. Vice President Planning and Commercial Development Pertamina sangat mendukung implementasi kerja sama pengembangan enzim selulase untuk produksi bioetanol generasi kedua tersebut.
“Riset kolaborasi generasi pertama telah menghasilkan tiga jenis enzim. Pada tahap kedua, ruang lingkup kerja sama ditingkatkan untuk uji stabilitas produk enzim dan aplikasinya. Sehingga dapat menciptakan bahan bakar ramah lingkungan,” bebernya.
Potensi biofuel ini sangat besar, jelasnya, yang telah dikembangkan dari sawit, tebu, nyla, dan sorgum untuk mencapai target kebutuhan etanol 1.5 juta kilo liter.
“Kegiatan ini nantinya akan banyak pengembangan, bukan hanya enzim. Yeast juga dapat menghasilkan energi efektif dan efisien guna memenuhi kebutuhan energi nasional yang sangat tinggi,” ungkap Dessy.
Pada kesempatan yang sama, Trisanti Anindyawati Peneliti PRMT BRIN selaku Ketua Tim Riset menuturkan, riset kolaborasi ini melibatkan beberapa pusat riset di BRIN, antara lain PRMT, Pusat Riset Rekayasa Genetika, dan Pusat Riset Kimia Maju.
“Teknologi rekombinan nantinya menggabungkan materi genetika dari dua spesies yang berbeda. Teknik ini adalah salah satu cara untuk mendapatkan gen potensial yang menghasilkan enzim rekombinan ramah lingkungan, ekonomis, dan berkelanjutan,” ucapnya.
Trisanti menerangkan, enzim ini melalui proses hidrolisis dapat mengubah bahan baku biomassa menjadi gula yang difermentasi menjadi bioetanol. Ketiga gen selulosa yang telah dikontruksi secara terpisah di klon dan dimasukkan ke dalam yeast jenis Pichia pastoris sebagai inang dalam skala laboratorium.
“Untuk riset tahap kedua, kerja sama akan dilakukan selama tiga tahun yaitu 2023-2025. Tahapan pada 2023 adalah melakukan optimasi media dan optimasi kondisi produksi enzim untuk masing-masing enzim. Untuk skala laboratorium dan optimasi produksi menggunakan fermentor pada skala 50-150 liter, hingga diperoleh proses produksi yang stabil,” tuturnya.
I Made Sudiana, Profesor Riset PRMT BRIN yang hadir dalam kesempatan tersebut menambahkan, khamir juga berpeluang untuk menghasilkan bioetanol. Menurutnya, Indonesia sangat kaya akan sumber mikroorganisme, salah satunya khamir untuk fermentasi etanol.
“Kemampuan akumulasi lipid pada khamir oleaginous dapat mencapai lebih dari 15% dari total biomassa selnya. Tentunya potensi ini dapat menjadi alternatif sumber bioetanol untuk dapat diteliti bersama secara lebih lanjut,” tutupnya. (Sumber brin.go.id)