Produksi Crude Palm Oil (CPO) Indonesia yang melimpah seharusnya bisa dikembangkan untuk mengalihkan penggunaan BBM ke Bahan Bakar Nabati (BBN). Biodiesel sebagai substitusi dari bahan bakar fosil mulai diarahkan untuk dapat diproduksi dalam skala besar guna mengurangi beban APBN.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) telah mampu mengembangkan teknologi untuk memproduksi biodiesel dengan kualitas baik satu hingga 30 ton per hari. “Kebun seluas 10 hektare akan menghasilkan 40 juta ton CPO per tahun dan dapat dikonversi menjadi biodiesel menjadi sebanyak 44,4 juta kiloliter per tahun atau setara 280 juta barel per tahun yang setara dengan 750 ribu barel per hari,” Kepala BPPT Marzan A Iskandar usai membuka lokakarya Biodiesel di Jakarta, Rabu (23/10).
Kepala Balai Rekayasa Disain dan Sistem Teknologi BPPT Riza mengatakan BPPT selain mengembangkan produk biodiesel, BPPT juga mengembangkan rancang bangun atau industri untuk memproduksi biodiesel. Untuk itu, BPPT menjalin kerjasama dengan PT Medco Inti Dinamika (Medco Group) mengembangkan biodiesel dengan membangun laboratorium hingga menghasilkan sampel. Untuk memproduksi biodiesel skala industri, kerjasama tersebut akan fokus untuk membangun satu pabrik biodiesel.
Ada 18 parameter yang bisa dipakai untuk menilai mutu biodiesel yang akan dihasilkan pabrik tersebut. “Sepanjang 18 parameter tersebut dipenuhi makan hasil produksi diyakini akan baik,” katanya.
Sementara, harga produk biodiesel yang akan dihasilkan cukup bersaing dengan harga diesel dari fosil. Sejauh ini biaya produksi sangat tergantung pada harga minyak sawit mentah/CPO ditambah ongkos produksi Rp 1500 hingga Rp 2000 per liter.
Pendiri PT Medco Energi Internasional Tbk Arifin Panigoro mengatakan pengembangan biodiesel dari kelapa sawit di Indonesia memang masih banyak mengahadapi masalah. Dari masalah lingkungan, ketersediaan tanah, hingga teknologi. “Tapi semua masalah itu bisa dijawab,” ujarnya.
Menurutnya, teknologi yang dimiliki Indonesia untuk mendukung industri biodiesel masih tertinggal dari negara lain termasuk Malaysia. Karena itu, BPPT sebagai ujung tombak bersama perguruan tinggi seperti ITB harus mengembangkannya. “Jika Indonesia ingin meproduksi biodiesel dalam skala besar, akan banyak industri yang berdiri. Tidak mungkin mesin diimpor terus-terusan kan,” ujarnya.
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kembali menegaskan komitmen untuk mendorong percepatan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) melalui Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 25 Tahun 2013 yang merupakan perubahan dari Permen ESDM Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain.
Peraturan tersebut mewajibkan peningkatan pemanfaatan biodiesel di sektor transportasi, industri, komersial, dan pembangkit listrik. Kebijakan tersebut berlaku sejak September 2013 hingga akhir tahun dengan target pengurangi impor BBM jenis solar sebesar 1,3 juta kilo liter. Pelaksanaan kebijakan tersebut diharapkan juga mampu mengurangi impor solar di 2014 hingga 4,4 juta kilo liter. (SB/berbagai sumber)