TechnologyIndonesia.id – Efisiensi anggaran yang ditetapkan pemerintah banyak menuai sorotan, termasuk dalam bidang pendidikan. Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM), Prof. Agus Sartono menyebutkan langkah efisiensi harus dilakukan secara hati-hati agar tidak berdampak negatif terhadap kualitas pendidikan tinggi di Indonesia.
“Pemangkasan anggaran pendidikan harus hati-hati dan betul-betul dicermati,” ucap dosen pada Agus pada Sabtu, 15 Februari 2025.
Departemen Ilmu Ekonomi FEB UGM ini menegaskan bahwa pemangkasan harus dilakukan secara selektif. Pengurangan anggaran ini sebaiknya menyasar pada program yang bersifat administratif serta tidak berdampak langsung pada mutu pendidikan. Misalnya pengurangan anggaran untuk perjalanan dinas, studi banding, seminar dapat dirasionalisasi.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa pengurangan anggaran di sektor-sektor ini tetap harus mempertimbangkan dampak terhadap perekonomian daerah. Apabila belanja pemerintah untuk kegiatan seperti seminar dan FGD turun drastis, industri perhotelan dan sektor terkait lainnya akan terdampak.
Karena itu harus ada langkah antisipasi agar efisiensi anggaran tidak menyebabkan kontraksi ekonomi.
Menurutnya, pemotongan anggaran pendidikan jangan sampai mengabaikan hak-hak aktor utama penggerak sektor pendidikan yaitu guru, dosen, dan tenaga kependidikan. Pasalnya para aktor tersebut memiliki peran penting dalam pendidikan.
“Kalau infrastruktur bisa ditunda 1-2 tahun, tetapi hak guru dan dosen tidak mungkin ditunda, termasuk rekrutmen guru dan dosen untuk mengisi yang sudah pensiun. Kalau ini dibiarkan akan terjadi gap,” terangnya.
Ia menambahkan jika kesejahteraan guru dan dosen tidak dipenuhi akan memunculkan sinyal negatif bagi lulusan terbaik untuk berprofesi sebagai tenaga pengajar.
Agus menegaskan bahwa investasi dalam pendidikan adalah kunci bagi pembangunan peradaban dan kemajuan bangsa. Ia mencontohkan negara-negara maju seperti di Eropa yang memiliki tradisi akademik kuat karena menempatkan profesi guru dan dosen pada posisi yang terhormat.
“Tanpa pendidikan, tidak akan ada peradaban. Negara maju sudah berkomitmen untuk berinvestasi dalam pengembangan sumber daya manusia,” ujar pria yang pernah menjabat sebagai Deputi Bidang Pendidikan dan Agama, Kemenko Kesra (2010-2014) dan Deputi Bidang Pendidikan dan Agama, Kemenko PMK (2014-2021).
Ia pun menolak jika pemotongan anggaran menyasar beasiswa, termasuk beasiswa KIP Kuliah (KIP-K), beasiswa Daerah 3T, beasiswa ADik dan ADEM. Beasiswa tersebut merupakan instrumen untuk memutus rantai kemiskinan dan memperkecil kesenjangan sosial. Apabila anggaran ini dipangkas, maka akan semakin sulit bagi masyarakat miskin untuk mengakses pendidikan tinggi.
Agus menambahkan ada kekhawatiran besar dari adanya pemangkasan anggaran di bidang pendidikan, khususnya dampak terhadap perguruan tinggi negeri (PTN). Ia berharap pemangkasan anggaran ini tidak sampai memaksa PTN untuk menaikkan uang kuliah tunggal (UKT).
Salah satu kekhawatiran utama dari pemangkasan anggaran adalah dampaknya terhadap Perguruan Tinggi Negeri (PTN).
“Jangan sampai pemangkasan anggaran memaksa PTN menaikkan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Jika intervensi pemerintah berkurang tetapi di sisi lain PTN diminta untuk tetap memenuhi kebutuhan dosen dan tenaga kependidikan, maka ini bisa menjadi dilema yang memicu gejolak di kampus,” ujarnya.
Lebih lanjut Agus mengatakan pemerintah wajib mengalokasikan minimal 20% dari APBN dan APBD untuk fungsi pendidikan. Hal ini sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.
Meski pemerintah pusat telah memenuhi ketentuan ini dengan peningkatan anggaran pendidikan dari tahun ke tahun, pemerintah daerah masih mengandalkan transfer dana dari pusat tanpa mengalokasikan anggaran pendidikan secara mandiri.
“Pemprov dan Pemerintah Kabupaten/Kota masih bergantung pada dana transfer pusat yang lebih dari 20% dari total anggaran pendidikan. Jika dihitung, sebagian besar dana itu digunakan untuk gaji guru, seolah-olah kabupaten/kota tidak perlu mengalokasikan dana tambahan,” jelasnya.
Selain itu, ia juga menyoroti potensi kebocoran dalam implementasi anggaran pendidikan, seperti penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang tidak selalu tepat sasaran.
“Ada kasus di mana siswa penerima KIP di daerah terpencil kesulitan mengambil bantuan karena keterbatasan akses, dan akhirnya dana tersebut dikelola oleh pihak sekolah. Ini perlu diperbaiki agar hak siswa benar-benar sampai ke tangan yang berhak,” tambahnya.
Agus mengatakan bahwa efisiensi anggaran memang bukanlah hal yang mudah. Kendati begitu, ia kembali menekankan sebaiknya penghematan anggaran tidak sampai mengorbankan masa depan anak bangsa.
“Mengapa tidak efisiensi dengan perampingan struktur pemerintahan? Negara lain memiliki kabinet yang lebih ramping, tetapi kondisi pemerintah saat ini dengan posisi yang gemuk, justru pesan efisiensi ini jadi tidak muncul,” pungkasnya. (Ilustrasi: Pixabay.com/stevepb)
Guru Besar FEB UGM Sebut Efisiensi Anggaran Pendidikan Harus Dilakukan dengan Hati-Hati
