Jakarta – Aksi dini (early action) mencuat dalam pertemuan Internasional,Multi-hazards Early Warning Conference II di Jenewa, beberapa waktu lalu, setelah selama ini hanya dikenal sistem peringatan dini (early warning system).
MHEWC II bahkan memilih tema khusus pada pertemuan kali ini, yaitu, ”Early warning and early action towards Sustainable, Resilient and Inclusive Societies”.
Negara- negara peserta pertemuan sepakati korelasi erat aksi dini dengan sistem peringatan dini untuk mengantisipasi bencana. Petteri Talaas, Sekretaris Jenderal WMO (World Meteorological Organization) mengingatkan tendensi kenaikan jumlah, intensitas dan kompleksitas bencana akan terus meningkat terutama bencana hidro-meteorologis. Diikuti tren kenaikan suhu global.
Salah satu bencana besar baru-baru ini diungkapkan wakil Kepala BMG Mozambique, Mussa Mustafa. Badai tropis Idai menerjang Mozambique pada 4 Maret 2019 yang menelan korban hingga 1007 meninggal (532 di Mozambque dan sisanya di Zimbabwe) serta menimbukan kerusakan parah. “Badai tropis Idai merupakan kejadian yang sangat langka,” ungkap Mussa Mustafa, disela-sela pertemuan. Satu setengah bulan kemudian, Mozambique diterpa badai tropis Kenneth dengan menelan korban 52 orang.
Perubahan iklim juga mengakibatkan munculnya kompleksitas “bencana baru”, seperti meteo-tsunami Haiyan di Filipina, meteo-tsunami di Spanyol dan Oman, Di Indonesia ditandai kemunculan badai tropis Cempaka, Dahlia, dan Lili .
Mami Mizutori, Wakil khusus Sekjen PBB untuk DRR (Disaster Risk Reduction), dalam pidato pembukaan MHEWC-II, melaporkan bahwa jumlah korban bencana menunjukkan tendensi menurun, namun biaya ekonominya tetap saja meningkat.
Mami Mizutori mengutip kejadian badai tropis Fani di India dan Bangladesh yang termasuk kategori badai tropis besar, tetapi jumlah korban tidak terlalu banyak dibanding Mozambique. bisa ditekan hingga 50 orang total di India dan Bangladesh. Tetapi, ribuan rumah hancur, longsor terjadi di berbagai wilayah India dan Bangladesh, untuk menyebut contoh dampak ekonomi.
Aksi dini (early action) berawal dari pemahaman terhadap pesan informasi peringatan dini. “Aksi dini dapat dilaksanakan setelah status bencana di tetapkan. Dalam kasus Indonesia bencana hidrometeorologi yang kerap terjadi yaitu kekeringan, banjir longsor, kebakaran hutan dan lain-lain,” ujar Tri Handoko Seto, Kepala Balai Teknologi Modifikasi Cuaca (BBMTC).
Dalam hal ini, aksi dini memerlukan dukungan sistem informasi EWS (early warning sistem) yang lebih akurat. Prediksi dampak bencana pada aspek sosi-ekonomi, dukungan infrastruktur sistem komunikasi khusus kebencanaan, ketersediaan data monitoring mulai dari observasi terpadu, advance remote sensing dan low cost sensor serta kemunculan internet of Things (loT).
Selain itu, diperlukan simulasi komputasi nir-sekat cuaca-iklim dengan basis sistem bumi (earth system based seamless weather and climate numerical simulation) . Kemitraan antara pakar dampak dengan pemilik data, machine learning dengan potensi-bahaya (hazard), dan verifikasi informasi dampak yang dihasilkan.
Menurut Tri Handoko Seto, Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) dapat diandalkan menjadi teknologi aksi atau tindakan dini (early action) setelah status bencana ditetapkan.
BBTMC bahkan telah merintis berbagai teknologi deteksi dini bencana Hidrometeorologi yang menjadi acuan pelaksanaan hujan buatan. Teknologi tersebut, yaitu R-Rainbows atau Radar- Rainfall Observation for Early Warning System. Sistem Radar untuk meng-observasi dan monitoring curah hujan berfungsi sebagai peringatan dini bencana banjir.
Selain itu, juga dikembangkan SMOKIES, suatu sistem informasi secara near real time pengukuran tinggi muka air pada lahan gambut untuk memantau potensi kebakaran hutan.
Sedangkan untuk informasi harian dikembangkan aplikasi info cuaca berbasis percakapan (chat) melalui aplikasi Telegram yaitu BBTMC Info yang mudah diakses masyarakat luas.
“Teknologi tersebut menjadi acuan pelaksanaan hujan buatan yang lebih efektif dan akuntabel untuk antisipasi bencana,” ujarnya.
Teknologi modifikasi cuaca, kata Seto, memiliki aspek luas, yaitu untuk pencegahan banjir di suatu wilayah, pencegahan kebakaran hutan, pengisian waduk untuk PLTA dan irigasi antisipasi kekeringan dan lain sebagainya. Secara khusus untuk Karhutla, penerapan TMC sekaligus menjadi langkah untuk menekan laju jumlah emisi karbon.
Disisi lain, menurut Andi Eka Sakya, Perekayasa Ahli Utama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, yang ikut hadir dalam pertemuan tersebut, bahwa negara-negara peserta pertemuan juga memandang penting integrasi sistem peringatan dini hidrometeorologis dan geologis kedalam Sistem Peringatan Dini Multi Bencana (SPDMB).
Hal ini, kata Andi, merujuk pada kasus tsunami Palu dan Selat Sunda, karena polanya yang tidak lazim, kedatangan gelombangnya sangat cepat dan mematikan. Tidak bisa disangkal, ketidaklaziman tsunami di Palu dan Selat Sunda, memperlebar diskusi hingga aspek informasi yang tidak sebatas tinggi gelombang, tetapi juga kerentanan wilayah lereng dan juga batimetri dalam laut di wilayah rentan.
Aksi dini antisipasi bencana geologi, lanjut dia, juga terkait ketahanan bangunan, infrastrtuktur, dan lingkungan. “Kerentanan lingkungan, tidak kuatnya infrastruktur yang dibangun dan rentannya bangunan, menjadi kontributor utama dari biaya ekonomi,” ujarnya.
Bencana alam memang sulit diprediksi, namun aksi dini dengan sentuhan teknologi diharapkan mampu mengantisipasi sekaligus menekan jumlah korban dan kerugian.