TechnologyIndonesia.id – Fenomena amblesan tanah atau land subsidence mengancam Pantai Utara Jawa atau Pantura. Fenomena ini berlangsung perlahan dan sulit terdeteksi secara langsung di lapangan, namun memiliki dampak yang signifikan.
Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Kebencanaan Geologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Dwi Sarah mengungkapkan fenomena tersebut dalam Seminar Nasional “Strategi Perlindungan Kawasan Pulau Jawa, Melalui Pembangunan Tanggul Pantai dan Tanggul Laut (Giant Sea Wall)” di Jakarta pada Rabu (10/1/2024).
Dalam seminar tersebut, Dwi Sarah menyampaikan hasil riset mengenai ancaman amblesan tanah di Pantai Utara Jawa. Fenomena amblesan tanah merujuk pada penurunan muka tanah yang disebabkan oleh pergerakan material di bawah permukaan.
Fenomena ini seringkali berlangsung secara perlahan, sulit terdeteksi secara langsung di lapangan, namun memiliki dampak yang signifikan, menjadikannya sebagai bahaya yang tersembunyi atau “silent hazard.”
“Proses penurunan tanah ini berjalan sangat lambat dalam milimeter hingga sentimeter per tahun sehingga sulit dikenali di lapangan. Namun dampaknya terasa nyata sehingga kita menyebutnya land subsidence sebagai silent hazard,” ungkap Sarah sebagaimana dilansir dalam laman brin.go.id.
Berdasarkan penelitian, land subsidence bukanlah masalah lokal. Lebih dari 200 lokasi di 34 negara, khususnya di daerah pesisir, mengalami amblesan tanah.
Penyebabnya dapat berasal dari faktor alami seperti tektonik, kompaksi alami endapan yang masih muda, serta faktor antropogenik seperti eksploitasi air tanah berlebihan dan penambahan beban di permukaan.
Wilayah yang Rawan Terdampak
Daerah rawan amblesan tanah meliputi Pantai Utara Jawa, Sumatera bagian timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat. Endapan-endapan seperti endapan aluvial, endapan danau, gambut, dan tanah organik yang masih muda atau berumur kuarter menjadi kriteria khusus yang rawan terhadap fenomena ini.
Amblesan tanah juga berpotensi mengancam daerah lain di Indonesia di masa mendatang. Pantura Jawa, secara geologi, terdiri dari endapan aluvial berumur muda hingga berumur kuarter, yang meliputi wilayah dari Jakarta hingga Surabaya.
“Pantura Jawa secara geologi, Pantura Jawa tersusun oleh endapan aluvial berumur muda, berumur kuarter yang tersebar dari Jakarta, Indramayu, Semarang, Demak hingga ke Surabaya,” terang Dwi Sarah.
Ia menjelaskan bahwa amblesan tanah di Pantura Jawa telah terjadi sejak beberapa dekade lalu. Amblesan tanah dimulai dari tahun 1970-an di Jakarta, 1980-an di Semarang, dan 1985 di Pekalongan. Proses ini telah berlangsung cukup lama dan terus berlanjut hingga saat ini.
Laju Amblesan Tanah
Dwi Sarah menjelaskan Pemantauan Global Navigation Satellite System (GNSS) menunjukkan adanya hotspot titik-titik di kota-kota Pantura yang rawan terhadap amblesan seperti Jakarta, Bekasi, Cirebon, Pekalongan, Kendal, Surabaya, Sidoarjo.
Berdasarkan pemantauan dengan metode Interferometric Synthetic Aperture Radar (InSAR) pada 2007 hingga 2009 terlihat amblesan tanah di Jakarta cukup tinggi antara 5 hingga 15 cm per tahun dan juga sudah muncul fenomena amblesan di kabupaten dan kota Bekasi dengan laju 2 hingga 3 cm.
“Pemantauan terkini dari 2015 hingga 2020 menunjukkan adanya perlambatan laju subsidence di Jakarta yaitu ditemukan hingga maksimal 5 cm per tahun. Sementara di daerah Bekasi laju subsidence-nya meningkat hingga mencapai 2 hingga 5 cm per tahun,” sebutnya.
Dwi Sarah juga menyampaikan bahwa tim periset BRIN melakukan investigasi in situ yang mengungkap kondisi bawah permukaan di beberapa daerah, memberikan gambaran yang penting terkait fenomena amblesan tanah dan implikasinya.
Di DKI Jakarta Utara, batuan sedimen berumur muda yang dominan terdiri dari endapan batu lempung yang tebal dengan sisipan pasir tipis. Meskipun laju amblesannya telah menurun, namun tetap terlihat adanya amblesan tanah di peta, menandakan potensi terkompaksinya secara alami.
Sementara itu, hasil investigasi di Pekalongan menunjukkan bahwa kondisi bawah permukaannya didominasi oleh endapan lempung dengan sisipan pasir dan tanah organik, yang secara gradual dari selatan ke utara, menunjukkan penurunan daya dukung dari menengah hingga rendah.
Fenomena amblesan ini tidak hanya terpusat di Kota Pekalongan, tetapi juga telah meluas ke wilayah barat, masuk ke daerah Kabupaten Pekalongan.
Untuk di Semarang dan Demak, hasil penelitian menunjukkan bahwa amblesan tanah didorong oleh faktor alami dan antropogenik.
“Di Semarang, laju kompaksi alamiah sangat kecil, sehingga amblesan tanah dipicu oleh faktor antropogenik. Di Demak, laju amblesan alami bisa mencapai 2 cm, menunjukkan pengaruh kedua faktor tersebut,” terangnya.
Dwi Sarah mengungkapkan, potensi bencana di Pantura akibat amblesan tanah, dengan laju antara 5 hingga 10 cm per tahun, berdampak pada kenaikan permukaan laut sebesar 3-10 mm per tahun, meningkatkan potensi banjir rob dan kerusakan infrastruktur.
Untuk menanggulangi bahaya ini, diperlukan penerapan strategi jangka pendek dan jangka panjang. Strategi jangka pendek mencakup penanggulangan dampak segera seperti banjir, sementara jangka panjang mempertimbangkan pengurangan laju amblesan.
Penanggulangan ini bisa dilakukan melalui kombinasi mitigasi struktural (pembangunan struktur penahan banjir) dan non-struktural (manajemen air, penggunaan air permukaan, zona konservasi air tanah), serta pemantauan terus-menerus terhadap amblesan tanah dan muka air tanah.
Temuan riset ini memberikan dasar penting untuk strategi mitigasi dan perlindungan terhadap fenomena amblesan tanah yang mengancam wilayah tersebut. (Sumber brin.go.id)