Pemanfaatan Smart Cable Technology untuk Peringatan Dini Tsunami

Jakarta, Technology-Indonesia.com – Terletak di kawasan cincin api (ring of fire) menjadikan Indonesia cukup sering menghadapi bencana yang bersifat tektonik maupun non-tektonik. Pemerintah pun terus melakukan perbaikan serta peningkatan kewaspadaan melalui penerapan inovasi dan teknologi yang mutakhir untuk meminimalisir dampak kerusakan maupun korban jiwa.

Salah satunya melalui kerja sama internasional United Nations ITU/WMO/UNESCO IOC Joint Task Force (Satuan Gabungan ITU-WMO-UNESCO PBB) untuk mengimplementasikan pemanfaatan Smart Cable Technology dalam upaya penguatan operasi peringatan dini tsunami.

Satuan gabungan ini terdiri dari perwakilan pemerintah, sektor swasta serta universitas yang telah melakukan penelitian dalam 10 tahun terakhir. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa SMART Cable (Science Monitoring And Reliable Telecommunications) merupakan solusi yang layak secara ekonomis untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Rencananya teknologi ini akan memperkuat sistem deteksi dan peringatan dini tsunami, karakterisasi sumber tsunami dan prakiraan gelombang tsunami di wilayah Indonesia.

Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Hammam Riza menyambut positif kerja sama Indonesia dengan pemerintah AS dalam menghadirkan solusi dalam upaya penguatan operasi peringatan dini tsunami.

Tahun 2018, lanjutnya, merupakan tahun bersejarah karena ada dua bencana yang terjadi di Indonesia dan dipicu oleh hal yang ‘tidak biasa’ yaitu tsunami di Palu dan Selat Sunda. Ada dua fakta dari peristiwa tersebut yang membuat pemerintah Indonesia menyadari pentingnya penerapan inovasi dan teknologi mutakhir dalam mengantisipasi bencana seperti ini.

“Yang pertama adalah pentingnya Indonesia memiliki sistem peringatan dini tsunami yang andal. Kedua, Indonesia tidak hanya terancam oleh bencana yang berbasis tektonik namun juga non-tektonik,” ujar Hammam seminar Strengthening Tsunami Warning Operation Trough SMART Cable Technology yang digelar di Gedung II BPPT, Jakarta pada Senin (13/1/2020).

Berkaca dari peristiwa bencana tersebut, BPPT memperoleh mandat untuk segera menerapkan teknologi yang mumpuni untuk mengantisipasi terjadinya tsunami serta dampak yang ditimbulkan. Hal ini sejalan dengan semangat dunia dalam membangun ‘Lautan yang Aman’ yang diprakarsai pertemuan TOWS pada Februari 2019, bersamaan dengan tugas Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk IOC/UNEECO dalam mempersiapkan Ocean Decade of Science 2021-2030.

Hammam mengaku bangga karena para penggagas dari Amerika Serikat (AS) terkait ide itu kini bisa hadir menjadi narasumber dalam seminar terkait penguatan operasi peringatan dini tsunami ini.

Hammam pun membacakan sedikit cerita yang harus dipahami mengenai pemaknaan bijak terkait ‘lautan dan tsunami’.

“Lautan yang aman bukanlah lautan di mana tsunami tidak terjadi. Tapi lautan di mana tsunami dipahami, diamati dan dampaknya diprediksi secara akurat sebelum mereka (tsunami) mencapai pantai. Lautan di mana mereka yang hidup, bekerja dan menciptakan kembali, di sepanjang pesisirnya ‘dipersenjatai’ dengan pengetahuan dan siap bertindak sebelum tsunami menerjang,” paparnya.

BPPT, tegas Hammam, berkomitmen akan berkontribusi secara penuh dalam mewujudkan ungkapan tersebut untuk kemandirian dan peningkatan kewaspadaan Indonesia terhadap bencana tsunami. BPPT secara aktif terlibat dalam pengembangan dan InaTEWS sejak fase awal, yakni pada 2005 hingga 2008. Pada periode tersebut, BPPT meluncurkan sejumlah alat sebagai bagian dari upaya pendeteksi tsunami.

Seiring kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek), BPPT terus berinovasi untuk menciptakan sistem deteksi dini tsunami yang lebih ideal. Sejak 2012, BPPT telah mengembangkan teknologi Cable Base Tsunameter (CBT) berbasis kabel optik.

Teknologi ini diyakini mampu menjawab kekurangan dari teknologi buoy yang rusak karena tindakan yang tidak bertanggung jawab, satu diantaranya akibat aksi vandalisme. Selain itu, CBT memiliki kemampuan deteksi yang lebih andal dan akurat, pengiriman datanya pun lebih cepat, masa pakainya lebih lama serta biaya operasional yang jauh lebih rendah.

Namun, dalam pengembangannya menunjukkan bahwa biaya pembuatan, pemasangan serta pemeliharaan CBT secara berkelanjutan, lebih tinggi jika dibandingkan dengan pelampung buoy.

Hammam menekankan bahwa pengembangan secara luas terkait sistem deteksi tsunami sangat diperlukan untuk diterapkan pada seluruh wilayah yang berpotensi terdampak. Sistem ini diharapkan mudah dan terjangkau secara ekonomi pula, serta bisa dipertahankan secara berkelanjutan.

Karena itu, kerja sama antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah AS dan Satuan Tugas Gabungan yang didukung ITIC untuk membahas pengembangan Smart Cable Technology ini harus diapresiasi. Smart Cable Technology yang dikembangkan ini kuat dan mampu bertahan lama. Selain itu, proses pemeliharaannya pun tidak sulit dan terlindung dari guncangan yang biasa terjadi pada permukaan laut.

“Namun BPPT menyadari bahwa untuk mengembangkan sistem seperti itu, membutuhkan konsistensi dan komitmen berkelanjutan dari pemerintah. Karena mungkin memerlukan waktu 10 hingga 20 tahun,” jelas Hammam.

Kerja sama ini diharapkan mampu mendorong Indonesia menjadi negara yang mandiri dalam penanganan bencana, khususnya terkait sistem peringatan dini tsunami.

Setiyo Bardono

Editor www.technologyindonesia.id, penulis buku Kumpulan Puisi Mengering Basah (Arus Kata, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (PasarMalam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).
Email: setiakata@gmail.com, redaksi@technologyindonesia.id

You May Also Like

More From Author