TechnologyIndonesia.id – Indonesia memiliki sejumlah pengetahuan lokal atau local wisdom yang cukup banyak mengenai kebencanaan. Salah satunya, Smong di Aceh yang cukup efektif dalam penanganan bencana tsunami.
Namun, pengetahuan lokal ini masih termarginalisasikan dan belum transformasikan ke dalam pemanfaatan teknologi informasi. Kelompok rentan seperti perempuan dan penyandang disabilitas sangat rawan menjadi korban ketika terjadi bencana karena ketidakberdayaan fisik dan mental.
Seiring berkembangnya teknologi informasi, pengetahuan lokal yang berhubungan dengan pengurangan risiko bencana dapat transformasikan ke dalam teknologi informasi menjadi knowledge-based for science manajemen risiko bencana.
Hal tersebut melandasi penyelenggaraan Kick Off MOST (Management of Social Transformation) UNESCO 2024: Pemanfaatan Pengetahuan Lokal dalam Pengurangan Risiko Bencana bagi Kelompok Rentan dengan Menggunakan Teknologi Informasi yang digelar di Auditorium Sumitro Djojohadikusumo, Gedung B.J. Habibie, Jakarta Pusat pada Selasa (27/2/2024).
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko menyampaikan bahwa BRIN merupakan penanggung jawab dari Nasional Focal Point untuk MOST UNESCO di Indonesia. Menurutnya, BRIN memiliki beberapa organisasi dan pusat riset yang bisa mendukung MOST UNESCO dari semua sisi.
Sebagai Nasional Focal Point untuk MOST UNESCO, Handoko menyampaikan pentingnya data termasuk data sumber kebencanaan geologi dan data sumber pengetahuan lokal. Saat ini, BRIN juga menjadi walidata untuk seluruh data primer Iptek yang antara lain didapatkan dari kegiatan ekspedisi.
“Bicara bencana, teman-teman dari ekspedisi terestrial geologi kebencanaan akan fokus ke pemetaan sesar dari Ujung Kulon sampai Banyuwangi. Fokusnya di Pulau Jawa yang paling padat penduduknya dan secara populasi sangat rentan terhadap bencana geologi,” terang Handoko.
Pada saat yang sama, armada kapal riset melakukan ekspedisi untuk pemetaan palung-palung dan gnung di bawah laut. Hal itu karena bencana tsunami di Selat Sunda, Banten yang terjadi pada 2018 disebabkan oleh longsoran lereng gunung bawah laut.
Lebih lanjut Handoko menyampaikan bahwa tsunami biasanya akibat dari gempa bumi, khususnya yang disebabkan oleh pergeseran tektonik. Ternyata, tanah longsor bisa memukul air laut sehingga menimbulkan tsunami.
“Itu mengubah konstelasi bahwa pemetaan sumber bencana khususnya tsunami di negara kepulauan ini tidak cukup dengan memetakan sesar, patahan dan lain-lain, tetapi juga harus memetakan potensi-potensi longsoran dari tebing-tebing gunung bawah laut,” tutur Handoko.
Terkait pengetahuan lokal, BRIN memiliki program yang mendorong masyarakat untuk mendokumentasikan dalam bentuk audio visual atau tulisan berbagi pengetahuan lokal. “Itu yang kami sebut sebagai akuisisi pengetahuan lokal yang kemudian kita beli lepas hak ciptanya untuk kita publik domainkan sehingga bisa diakses semua orang,” terangnya.
Pengetahuan lokal atau lokal wisdom terkait kebencanaan bisa menjadi inspirasi dalam menghadapi dan memitigasi bencana. Handoko mencontohkan, saat tsunami Aceh, warga di Pulau Simeulue bisa terhindar dari tsunami karena memiliki pengetahuan lokal yang secara budaya sudah tertanam sejak dini.
“Hal-hal seperti itulah yang harus kita sebarkan dan kita jadikan inspirasi yang bisa diajarkan di sekolah-sekolah. Jadi program mitigasi deteksi dini untuk awareness kebencanaan itu mestinya harus masuk sejak usia dini,” tuturnya.
Sementara itu, Ardito M Kodijat dari UNESCO Jakarta Office mengungkapkan bahwa Indonesia sudah membangun teknologi sistem peringatan dini tsunami. Indonesia juga memiliki pengetahuan lokal terkait kebencanaan.
“Bagaimana kita mentransformasi teknologi sistem peringatan dini tsunami ke masyarakat dan bagaimana kita mendayagunakan pengetahuan lokal masyarakat kemudian diadaptasi dalam suatu sistem peringatan dini,” tuturnya.
Ardito menyampaikan bahwa UNESCO memiliki berbagai program termasuk MOST dengan BRIN sebagai mitra utama.
“Bagaimana kegiatan MOST UNESCO yang secara global diadaptasi di Indonesia dan bagaimana kegiatan MOST di Indonesia bisa ditarik ke tingkat global sehingga negara-negara lain bisa belajar dari apa yang dikerjakan Indonesia,” terangnya.
Kegiatan ini menghadirkan beberapa narasumber dari Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU), MOST UNESCO, BRIN, Kementerian Sosial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bappenas, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan UIN Sunan Kalijaga.