LIPI Kembangkan Laser Tsunami Sensor

Jakarta, Technology-Indonesia.com – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengembangkan Laser Tsunami Sensor (LTS) sebagai alternatif sistem peringatan dini tsunami. Instrumen ini diklaim lebih efektif dan awet dibanding tsunami buoy.

Bambang Widiyatmoko, peneliti bidang instrumentasi kebencanaan Pusat Penelitian Fisika LIPI mengungkapkan LTS telah dikembangkan sejak 2005. Alat ini menggunakan bahan berjenis fiber brag grating (FBG) dan bekerja dengam metode penyampaian informasi melalui cahaya.

“Prinsip kerjanya adalah mengirim cahaya dari darat itu ditembakkan ke dasar laut, lalu ada sensor di dalamnya yang akan kembali menembakkan cahaya tersebut ke pos pantau,” jelasnya.

Pada prinsipnya sensor tsunami, lanjutnya, merupakan sensor tekanan air atau perubahan tekanan air. Karena itu, tidak ada bedanya mendeteksi tsunami yang disebabkan oleh gempa (tektonik) dengan tsunami yang disebabkan oleh vulkanik/longsor.

Menurut Bambang, faktor yang menyebabkan kesulitan mendeteksi tsunami antara lain: penentuan lokasi, pemasangan di laut lepas, pengaturan power supply, maintenance, koneksi jaringan, serta proteksi terhadap tekanan air.

Kelemahan alat deteksi seperti tsunami buoy adalah mudah hilang dan sistemnya rumit dari sisi mekanik (perlindungan dari tekanan air), elektronik (komunikasi sensor ke Buoy, power supply dan ketahanan sensor), serta komunikasi menggunakan satelit. Selain itu, biaya pemeliharaan tsunami buoy tidak murah.

Karena itu, Pusat Penelitian Fisika LIPI mengembangkan alat deteksi tsunami berbasis sensor laser. Sensor ini ditempatkan dalam kabel fiber optik yang berada di dasar laut. Kabel fiber optik itu akan terhubung dengan pos pemantau yang akan memancarkan cahaya laser dari ujung kabel ke ujung kabel lainnya melalui sensor deteksi.

“Ketika terjadi pergerakan air laut yang tidak biasa atau ada tekanan yang berubah, sensor deteksi akan membelokkan cahaya yang akan menjadi tanda peringatan bahaya tsunami ke pos pemantau,” jelasnya.

LTS yang sedang dikembangkan LIPI ini, menurut Bambang, relatif tahan gangguan karena diletakkan dalam kabel optik di dasar laut dan tidak berbahan korosif. Alat ini juga tidak memerlukan power supply di tengah laut.

Semua komponen sensor berada di dasar laut sehingga aman dari pencurian/terbawa arus), berbeda dengan tsunami buoy yang dapat tertabrak kapal atau rusak karena ombak. Selain itu biaya perawatannya lebih murah dibandingkan biaya perawatan tsunami buoy.

Namun untuk pemasangan LTS memerlukan biaya awal yang tinggi. Menurut estimasi, harga kabel fiber optik bawah laut mencapai US $5 per meter. Untuk pemasangan kabel fiber optik sepanjang 20 kilometer membutuhkan biaya Rp 1,5 miliar.

Bambang menegaskan, secara prinsip, LIPI sudah membuktikan bahwa instrument LTS bisa menjadi tsunami sensor. Meskipun saat ini, LTS belum diproduksi, Bambang mengaku siap jika pemerintah memintanya untuk membuat purwarupa.

Pada kesempatan tersebut, Bambang mengingatkan bahwa peringatan dini memiliki banyak aspek. Pengembangan instrumentasi kebencanaan hanya salah satunya saja.

“Banyak aspek lain yang harus dikaji dan dilakukan bersama-sama. Instrumentasi ini disamping memberi peringatan dini juga untuk verifikasi yang didasarkan pada pengukuran bukan pada simulasi saja,” tuturnya.

Ke depan, ia berharap ada kebijakan menyangkut instrumentasi kebencanaan. Pengembangan LTS juga memerlukan dukungan pendanaan yang kontinyu.

Setiyo Bardono

Editor www.technologyindonesia.id, penulis buku Kumpulan Puisi Mengering Basah (Arus Kata, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (PasarMalam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014). Buku terbarunya, Antologi Puisi Kuliner "Rempah Rindu Soto Ibu"
Email: setiakata@gmail.com, redaksi@technologyindonesia.id

You May Also Like

More From Author