Jakarta, technology-indonesia.com – Nama merupakan bagian tak terpisahkan dari seorang sosok manusia dan kehidupan manusia, baik nama diri (antroponimi) maupun nama tempat (toponimi). Nama sangat diperlukan untuk berkoordinasi, berkomunikasi, dan menyampaikan informasi.
Hal itu disampaikan Multamia RMT Lauder dari Departemen Linguistik, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dalam Media Gathering “Peran Toponim dan Maknanya Dalam Menjaga Kedaulatan Bangsa” di Jakarta, Jumat (26/5/2017). Acara ini diselenggarakan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) dan Tempo.
Mengingat pentingnya nama tempat sebagai salah satu unsur utama untuk berkoordinasi dan berkomunikasi antarbangsa, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) secara khusus membentuk dua organisasi yang menangani toponimi. Kedua organisasi tersebut adalah UNGEGN (United Nations Group of Experts on Geographical Names) dan UNCSGN (United Nations Conference on Standardization of Geographical Names).
Dalam UNGEGN, Pakar Toponimi dari tiap negara tergabung dalam divisi berdasarkan pembagian geografis atau linguistik. Indonesia masuk dalam Asia South-East Division.
Menurut Multamia, ruang lingkup kajian toponimi meliputi penginventarisasian dan kajian nama tempat tidak hanya terbatas pada unsur-unsur yang berada di permukaan tanah dan laut. Kajian Toponimi juga mencakup nama pada unsur bawah tanah, bawah laut hingga unsur luar angkasa. “Referensi untuk unsur bawah laut harus mengikuti kesepakatan internasional yang dikeluarkan oleh International Hydrographic Burea,” paparnya.
Kajian toponimi tertua mengenai nama rupabumi atau nama unsur geografi di Indonesia dilakukan oleh Schnitger pada tahun 1936 mengenai kawasan Muarajambi dalam karyanya “Hindu-Oudheden aan de Batang Hari”. “Di Indonesia, toponimi masih belum dikenal secara luas, sehingga perlu dibentuk sebuah organisasi toponimi bagi para pakar dan masyarakat,” kata Multamia.
Salah satu komunitas yang mewadahi peminat kajian toponimi di Indonesia adalah Komunitas Toponimi Indonesia (Kotisia) yang dibentuk pada 15 Januari 2015. Komunitas yang digagas oleh sekelompok dosen UI dari berbagai disiplin ilmu ini ini membantu pemberdayaan pelestarian budaya Indonesia melalui preservasi nama lokal.
Proses pembakuan nama unsur geografi, lanjutnya, harus mengikuti ketetapan PBB yang mewajibkan penamaan menggunakan bahasa lokal/daerah untuk mengekalkan sejarah migrasi penduduk dan jatidiri penduduk setempat.
Multamia mengatakan, nama unsur geografi sangat sentral dalam Gasetir Nasional karena berfungsi sebagai acuan tunggal, terutama ketepatan penulisan nama yang sangat berkaitan nama yang berupa unsur generik dari bahasa daerah. “Gasetir adalah daftar nama resmi dan baku yang berfungsi sebagai acuan tunggal untuk semua dokumen resmi, baik cara penulisannya maupun pelafalannya oleh semua pihak,” terangnya.
Multamia mengungkapkan, kajian toponimi bukanlah pekerjaan sepele, justru merupakan pekerjaan besar berskala nasional dan internasional demi kenyamanan dan ketertiban sosial. “Kini saatnya mulai memberi perhatian serius terhadap kajian toponimi yang akhir-akhir ini berkembang pesat menjadi sebuah kajian multidisiplin,” ungkapnya.
Nama tempat (toponimi) memiliki nilai tinggi karena dapat mengekalkan jatidiri melalui bukti tahapan migrasi penduduk dan sejarah permukiman di suatu wilayah, walaupun semua bukti telah tergerus oleh waktu. Selain membantu membantu penulisan nama yang tepat di peta dan gasetir, toponim juga membantu penetapan batas administrasi untuk mengurangi konflik, serta berperan meningkatkan efisiensi kehidupan masyarakat perkotaan modern dalam berkomunikasi dan berkoordinasi.
UNGEGN telah bekerja sama dengan BIG sejak 1981, secara berkala dan berkelanjutan melakukan pelatihan di bidang toponimi di Indonesia. Namun, pada umumnya peserta pelatihan adalah staf BIG atau Kementerian Dalam Negeri saja. “Di masa mendatang, perlu juga dirancang pelatihan untuk umum yang berminat pada toponimi agar makin banyak yang berpartisipasi dalam bidang toponimi,” pungkasnya.