JAKARTA – Sebagian besar bandara di Indonesia belum memiliki “mata” untuk memantau pergerakan pesawat. Dari 237 bandar udara di Indonesia, baru 31 bandara yang menggunakan perangkat radar ADS-B (Automatic Dependent Surveillance Broadcast). Sisanya masih menggunakan voice communication saat berkomunikasi dengan pilot.
Padahal Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) memiliki inovasi radar ADS-B yang canggih namun harganya jauh lebih terjangkau. Inovasi BPPT ini mengedepankan dan menerapkan teknologi terkini. Alat navigasi ini berbasis software open source sehingga mudah dalam pemeliharaan.
Direktur Pusat Teknologi Elektronika BPPT, Yudi Purwantoro mengatakan 90% radar yang digunakan bandara-bandara Indonesia diimpor dari luar negeri. Harganya empat kali lebih mahal dari ADS-B buatan BPPT. “Dengan kemampuan yang sama, kita dapat memberikan fasilitas radar pada empat bandara. Jadi ada efisiensi cost,” kata Yudi dalam acara Media Gathering BPPT di Jakarta, Jumat (25/6/2016).
Sistem navigasi berbasis ADS-B merupakan alternatif dari radar yang selama ini digunakan di dunia penerbangan. Melalui sinyal satelit GPS, pesawat secara otomatis memancarkan informasi atau data-data terkait navigasi dan dipancarkan ke semua penjuru. “Siapa saja yang memiliki perangkat yang bisa menangkap sinyal yang dipancarkan oleh pesawat akan mengetahui posisi pesawat,” terang Yudi.
Sementara radar hanya berfungsi kalau memancarkan sinyal dan dikembalikan oleh pesawat. Jangkauan radar terbatas, sementara ADS-B jangkauannya lebih lebih luas. Perangkat ADS-B juga lebih simple karena menggunakan antena kecil , receiver, dan display. Sementara radar memerlukan space besar dan pemeliharaan yang rumit secara berkala. Karena itu, ADS-B disebut teknologi masa depan untuk navigasi udara.
Menurut Yudi, teknologi ini mampu memantau pergerakan pesawat ketika sedang melakukan approach pendaratan, saat mendarat, maupun ketika bergerak di sekitar terminal. Radar ADS-B juga mampu memantau kendaraan bergerak lainnya di bandara, sehingga kejadian tabrakan pesawat bisa dihindari.
Sistem ADS-B yang dikembangkan BPPT sasarannya digunakan untuk fase penerbangan dibawah ketinggian 29.000 kaki. Karena di atas 29.000 kaki sudah ada ADS-B yang dibeli dari negara lain. Penggunaan yang lebih luas nanti adalah di level ke bawah hingga di bandara. “Semua jenis kendaraan yang ada di bandara juga akan dipantau pergerakannya,” lanjut Yudi.
Yudi menerangkan, konsep sistem ADS-B dikembangkan BPPT dalam kurun waktu 2006-2007. Kemudian dilakukan pembuatan prototipe sistem ADS-B dilakukan pada 2007-2014. Pada proses industrialisasi modul ADS-B Receiver pada 2015 menghasilkan ADS-B Receiver BPPT-INTI.
Saat ini BPPT tengah berupaya agar receiver ADS-B mendapat sertifikasi dan memenuhi standar internasional. Tahun 2017, BPPT mentargetkan ADS-B dapat memantau semua kendaraan yang ada di bandara. Sementara, uji operasional ADS-B BPPT telah dilakukan di Bandara Semarang sejak 2012 dan Bandung sejak 2014. Selama uji operasional tersebut, Airnav Indonesia menyatakan manfaat dan kehandalan perangkat ADS-B BPPT.
Dalam persiapan proses sertifikasi, BPPT bekerjasama dengan PT INTI telah melakukan uji laboratorium. Hasilnya, deviasi akurasi posisi pesawat meleset 3 meter, masih memenuhi syarat karena toleransi standarnya 8 meter. ADS-B bisa mendeteksi pesawat dalam jarak hingga 200 nmi dan ketinggian 33 ribu kaki. ADS-B juga mampu memproses 200 pesawat secara simultan. “Bandara Soeta sebagai bandara tersibuk di Indonesia, jumlah pesawat yang dipantau secara simultan sebanyak 70-80 pesawat,” terang Yudi.
Dalam persiapan sertifikasi selanjutnya, BPPT akan melakukan uji trial lapangan di 6-7 bandara Papua selama 3 bulan (setara dengan persyaratan 13.000-15.000 jam). BPPT juga akan melakukan integrasi ADS-B Receiver BPPT-INTI ke Testbed E-JAATS milik Airnav selama 2 bulan. Selain itu akan dilakukan uji laboratorium untuk mensimulasikan apakah dalam kondisi cuaca ekstrim, sistem ADS-B masih berfungsi.
Yudi berharap teknologi ini siap diaplikasikan setelah sertifikasi dan ada industri nasional yang mau melakukan komersialisasi. Ia juga berharap dukungan semua pihak dan pemangku kebijakan khususnya dalam hal regulasi. “Semoga teknologi navigasi udara karya anak bangsa ini segera menjadi solusi bagi dunia aviasi nasional,” pungkas Yudi.