
Direktur Jenderal Kelembagaan Iptekdikti, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), Patdono Suwignjo berharap pada akhir 2019 sudah ada 22 Science Techno Park (STP) yang mandiri. Artinya, STP tersebut bisa menghasilkan spin off company, yaitu pengusaha pemula berbasis teknologi dengan pembiayaan sendiri.
“Kalau pun ada bantuan pemerintah itu bukan majority, hanya tambahan saja. Utamanya, dari jasa-jasa untuk melakukan inkubasi, serta jasa untuk menghasilkan spin off company,” ujar Patdono seusai membuka Workshop Menuju Hilirisasi Produk Unggulan Pusat Unggulan Iptek, di Gedung II BPPT, Jakarta, pada Selasa (13/12/2016).
Patdono menerangkan, pada proses pembangunan STP, pemerintah pertama kali akan mendanai pembuatan rencana master plan STP. Setelah itu detail engineering, konstruksi, pembelian alat-alat, serta penempatan personil-personil di organisasi yang ada di STP.
Setelah selesai, STP akan diserahkan ke Pemerintah Daerah (Pemda) yang akan mengoperasikan. Saat pengoperasian ada pegawai negeri sipil (PNS) yang ditanggung oleh negara. Namun, ada juga pegawai-pegawai non PNS dan biaya operasional yang diharapkan dibiayai oleh pendapatan STP.
Menurut Patdono, saat diserahkan pada tahun pertama, Pemda belum bisa menggalang pendapat besar. Setelah 3-4 tahun, tenant-nya sudah banyak, sudah terkenal dan perusahaan yang spin off dari STP sudah banyak. Maka akan banyak calon-calon pengusaha maupun peneliti yang penelitiannya ingin dihilirkan. Pendapatan STP juga bisa didapatkan dari pelatihan maupun pendampingan.
Namun, STP tidak bisa beroperasi seluruhnya dengan biayanya sendiri. Jadi harus ada support dari pemerintah. Kalau sudah diserahkan, yang mengoperasikan dan membiayai STP adalah Pemda. “Isu yang paling penting adalah Pemda yang diserahi mengoperasikan STP di APBDnya harus ditambahkan anggaran untuk membayar PNS/pegawai dan operasional STP terutama pada tahun-tahun pertama,” kata Patdono.
Patdono mencontohkan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di Jember, Jawa Timur yang ditetapkan sebagai STP pada pertengahan 2016 karena akumulasi ilmu dan inovasi yang ada sudah banyak.
“Hasilnya bukan hanya dijual di dalam negeri tetapi juga di luar negeri. Pendapatannya banyak mulai dari penelitian bibit kopi dan cokelat sampai membuat mesin, cokelat, hingga membuka paket tour mengelilingi STP,” lanjutnya.
Patdono berharap Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH) memiliki STP. Sebab, PTN-BH termasuk PTN yang paling maju, termasuk dalam penelitian yang berujung pada inovasi.
“Kita akan dorong IPB untuk lebih banyak lagi mengintensifkan inovasi-inovasi supaya pengusaha-pengusaha pemula berbasis teknologi pangan dan pertanian lebih banyak lagi bermunculan. Pada akhirnya, membantu masyarakat mendapatkan pangan dan pertanian yang kualitasnya bagus,” pungkasnya.