Jakarta, Technology-Indonesia.com – Empat peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dikukuhkan sebagai Profesor Riset pada Rabu (1/9/2021). Empat peneliti yang dilantik adalah yaitu Yantyati Widyastuti (Bidang Bioteknologi Hewan), Haryadi Permana (Bidang Geologi), Sri Yudawati Cahyarini (Bidang Geologi), dan Sri Rahayu (Bidang Botani). Mereka dilantik sebagi Profesor Riset ke-155, 156, 157, dan 158 di lingkungan LIPI.
Profesor Riset Yantyanti dalam orasinya berjudul “Inovasi Produk Pangan Sapi Potong Berbasis Bakteri Asam Laktat untuk Mendukung Usaha Peternakan Nasional,” menjelaskan bahwa konsumsi daging masyarakat Indonesia meningkat seiring meningkatnya pendapatan masyarakat. Ini berarti, terjadi pula peningkatan pengembangbiakan hewan ternak. Di sisi lain, ternak ruminansia (hewan pemamah biak) seperti sapi potong, menyumbang emisi gas rumah kaca berupa gas metana yang dikeluarkan melalui sendawa, hasil dari proses alami fermentasi pakan ternak.
Yantyati menjelaskan bahwa gas metana tersebut merupakan pemborosan energi yang menganggu lingkungan, juga merugikan ruminansia itu sendiri. Strategi global pada pemberian pakan telah diupayakan untuk dapat menurunkan produksi gas metana. Salah satu pendekatan yang telah dilakukan adalah menggunakan bakteri asam laktat yang memproduksi asam laktat dan berperan pada fermentasi pakan, serta memengaruhi keseimbangan mikroorganisme pada saluran pencernaan.
“Dengan konsep yang serupa, yaitu dengan pengaruh probiotik pada kesehatan manusia maka bakteri asam laktat juga dapat menyehatkan ternak. Peran bakteri asam laktat untuk menurunkan produksi gas metana merupakan konsep global inovasi,” jelas Yantyati.
Haryadi Permana dalam orasinya berjudul “Pemanfaatan Hasil Riset Kepingan Kerak Samudra Purba dalam Perspektif Dinamika Kerak Bumi Aktual” menjelaskan bahwa kepingan kerak samudra purba terbentuk dalam lingkungan tektonik yang beragam dengan rentang waktu umur kerak samudra mulai dari Zaman Mesosoik, Masa Jura (190–155 juta tahun lalu (Jtl.)), Masa Kapur (145–62 Jtl.), Sub-Masa Paleogen, yaitu pada Kala Eosen (55–33 Jtl.), Kala Oligosen (27 Jtl.), sampai paling muda, yaitu Kala Miosen (20–9 Jtl). Kepingan kerak samudra, umumnya disebut ofiolit (ophiolite), merupakan bagian dari litosfer bumi yang permukaanya berada di cekungan samudra dan utamanya terbentuk karena Punggungan Tengah Samudra (PTS).
Dalam prespektif dinamika kerak bumi aktual, pemahaman dan pengetahuan dasar kerak bumi dapat dijadikan sebagai bahan dalam upaya mitigasi bencana. Sumber daya kerak samudra seperti sumber daya gunung api bawah laut serta unsur dan mineral ekonomis di dalamnya juga dapat dimanfaatkan. Kepingan-kepingan kerak samudra diketahui telah menjadi sumber daya logam dasar seperti nikel, krom, mangan, besi atau seng, unsur tanah jarang, terutama scandium (Sc) dan unsur dari kelompok platinum.
“Pergerakan kerak samudra masih berlangsung sampai saat ini. Pertemuan antarlempeng membentuk jalur gempa bumi dan jalur gunung-gunung api aktif. Hal ini digunakan sebagai identifikasi potensi bencana tsunami di suatu daerah,” ujar Haryadi.
Pada naskah orasinya berjudul “Kontribusi Penelitian Iklim Masa Lampau dalam Memahami Perubahan Iklim,” Sri Yudawati Cahyarini menjelaskan bahwa studi iklim masa lampau (paleoclimate) mampu menyediakan data iklim dari masa kini sampai masa lampau, di mana tidak tersedia data pengukuran. Data paleoclimate ini dapat digunakan untuk verifikasi data model prediksi iklim supaya lebih akurat sehingga dapat mendukung kegiatan adaptasi dan mitigasi bencana iklim lebih baik.
Studi tersebut dilakukan dengan menggunakan arsip karang Scleractinia atau disebut juga karang batu dari genus Porites. Karang Porites merupakan salah satu “alat” yang dapat digunakan untuk menyajikan situasi iklim masa lampau sampai resolusi bulanan. Kandungan geokimia karang Porites mampu merekam variabilitas parameter iklim seperti suhu permukaan laut, salinitas, dan presipitasi.
“Dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim tersebut, diperlukan juga pemahaman mengenai variabilitas iklimnya itu sendiri dari masa lampau, masa kini dan bagaimana prediksinya di masa mendatang. Mengingat dampak perubahan iklim yang berpotensi merugikan berbagai sektor dalam berbagai kehidupan manusia, maka perlu kerja sama penelitian para peneliti pada area iklim masa lampau, masa kini, dan permodelan iklim, serta disiplin ilmu lainnya,” tuturnya.
Sri Rahayu, dalam naskah orasi Profesor Risetnya berjudul “Konservasi Biodiversitas dan Pemanfaatan Berkelanjutan Hoya di Indonesia” menjelaskan bahwa sebagai tumbuhan tropis, banyak jenis Hoya yang tumbuh di Indonesia dan sudah sejak lama dimanfaatkan sebagai bahan obat tradisional di Indonesia. Tanaman ini berkemampuan tinggi dalam menyerap polutan pada ruangan. Saat ini Hoya lebih banyak dijadikan tanaman hias dengan nilai ekonomi cukup tinggi.
Hoya adalah tumbuhan epifit yang keberadaannya di alam sangat bergantung terhadap keberadaan pohon yang ditumpangi. Sementara itu, keberadaan populasi di alam semakin terancam dengan semakin berkurangnya habitat. Pengetahuan dan pemahaman masyarakat mengenai aturan perdagangan tumbuhan hidup, baik untuk pasar di dalam maupun di luar negeri, juga sangat minim sehingga terjadi penjualan yang tidak sesuai dengan aturan dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
“Hal ini dapat menyebabkan keuntungan ekonomi tertinggi diperoleh pihak luar negeri yang melakukan sistem budidaya dan inovasi produk yang lebih baik. Sementara itu, perkembangan iptek terkait pemanfaatan berkelanjutan Hoya belum dapat didiseminasikan dengan baik. Karena itu, perlu dirumuskan suatu strategi konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan Hoya Indonesia,” runtutnya.