Jakarta, Technology-Indonesia.com – Peneliti Pusat Penelitian Konservasi Tumbuhan dan Kebun Raya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berhasil menemukan dua spesies baru anggrek, Dendrobium nagataksaka dan Eulophia lagaligo. Deskripsi spesies baru anggrek tersebut telah diterbitkan pada jurnal ilmiah internasional Phytotaxa pada September 2019.
Anggrek Dendrobium nagataksaka merupakan anggrek epifit yang tumbuh menempel di permukaan batang pepohonan. “Distribusi alami dari spesies baru ini diketahui berasal dari kawasan hutan dataran rendah di propinsi Papua Barat,” jelas Destario Metusala, Peneliti Pusat Penelitian Konservasi Tumbuhan dan Kebun Raya LIPI dalam keterangan tertulis yang diterima Technology-Indonesia.com pada Selasa (5/11/2019).
Genus Dendrobium, jelas Destario, dikenal sebagai salah satu kelompok anggrek yang memiliki bentuk bunga yang unik dan menjadi salah satu komoditas bunga hias yang sangat digemari. “Spesies baru ini memiliki keunikan bentuk kuntum bunganya yang memiliki petal tegak seperti tanduk dan bibir bunga yang menjulur panjang menyerupai bentuk kepala seekor naga,” jelasnya.
Ciri tersebut yang menjadikan spesies baru ini mengambil epitet nagataksaka yang berasal dari nama Taksaka, makhluk mitologi berwujud naga dalam epos Mahabharata.
Sementara spesies anggrek Eulophia lagaligo sebenarnya pernah ditemukan sebelumnya oleh taksonom C.L. Blume pada 1859 berdasarkan spesimen dari pulau Timor dengan nama Eulophia bicolor. Akan tetapi belakangan diketahui bahwa nama spesies tersebut menjadi tidak diterima karena nama tersebut telah digunakan sebelumnya oleh taksonom N. A Danzell pada tahun 1851 untuk spesies yang berbeda.
“Dalam kajian taksonomi, sebuah nama spesies hanya boleh dipergunakan satu kali untuk sebuah taksa. Selain itu, selama ini anggrek Eulophia bicolor oleh Blume dianggap spesies yang sama dengan Eulophia nuda karena kemiripannya,” terang Destario.
Pada tahun 2008, Destario bersama tim dari Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Purwodadi LIPI menemukan spesimen anggrek dari genus Eulophia di Sulawesi Selatan. Setelah dilakukan studi panjang yang mendalam, Destario berhasil membuktikan Eulophia bicolor berbeda dengan Eulophia nuda.
“Karena nama Eulophia bicolor sudah dipakai, kami memberikan nama nama Eulophia lagaligo untuk spesies baru tersebut,” jelasnya. Epitet lagaligo diambil dari nama La Galigo, yaitu sebuah karya sastra warisan dunia yang dibuat sekitar abad ke-14 dan berasal dari Sulawesi Selatan.
Dirinya menjelaskan, spesies baru Eulophia lagaligo memiliki kemiripan dengan Eulophia nuda. “Perbedaanya ada di bentuk dagu bunganya yang berasal dari kaki tugu dan bibir-bunga dan menekuk kebawah, tugu bunga yang lebih ramping, serta penutup anther yang memiliki sebuah tonjolan memanjang.”
Eulophia lagaligo memiliki perbungaan tegak dengan 5-14 kuntum bunga yang mekar hampir serentak. Bunganya yang berwarna kehijauan memiliki lebar 2,2-2,8 cm dengan perhiasan bunga tidak membuka secara penuh. “Bibir bunganya yang kehijauan memiliki corak keunguan hingga merah muda di bagian tengahnya,” jelas Destario.
Selain di Sulawesi Selatan, persebaran alami Eulophia lagaligo diketahui berasal dari dan pulau Timor, Nusa Tenggara Timur. “Spesies ini dapat tumbuh baik di dataran rendah dengan rentang ketinggian antara 100 sampai 600 meter di atas permukaan laut,” tutupnya.