TechnologyIndonesia.id – Tantangan lingkungan global seperti perubahan iklim ekstrem, polusi udara, hingga tren fast fashion menuntut adanya perubahan gaya hidup yang lebih ramah lingkungan, seperti praktik konsumsi berkelanjutan.
Guru Besar Tetap Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor, Prof. Dr. Ir. Lilik Noor Yuliati, M.F.S.A mengeksplorasi potensi nudging (dorongan halus), yang dipadukan dengan media sosial (medsos) untuk mendorong perilaku konsumsi berkelanjutan, khususnya di kalangan generasi Z untuk efektif mengatasi masalah lingkungan yang mendesak.
“Nudging menawarkan metodologi yang halus namun ampuh untuk mengarahkan individu dalam membuat keputusan yang lebih sadar lingkungan tanpa membatasi kebebasan memilih mereka secara ketat,” Prof. Lilik dalam konferensi pers pra orasi ilmiah yang digelar secara daring pada Kamis (18/9/2025).
Sidang Terbuka Orasi Ilmiah Guru Besar IPB dilaksanakan di Auditorium Andi Hakim Nasution (AHN), Kampus IPB Dramaga, Kabupaten Bogor yang dijadwalkan berlangsung pada Sabtu (20/9/2025).
“Nudging dapat berfungsi sebagai alat kebijakan mikro, yang secara efektif mendorong konsumsi yang bertanggung jawab terhadap lingkungan tanpa menggunakan tindakan koersif atau regulasi yang ketat,” imbuhnya.
Prof. Lilik mengungkapkan enam teknik nudging yang relevan untuk mendorong perilaku konsumsi berkelanjutan pada Generasi Z. Pertama, referent point dan evoked set yaitu menyisipkan produk ramah lingkungan ke dalam pilihan yang sudah akrab sehingga terlihat sebagai bagian dari opsi umum mereka.
Kedua, komunikasi dan norma sosial, dengan menekankan bahwa mayoritas orang telah memilih perilaku ramah lingkungan sehingga tercipta tekanan sosial positif. Ketiga, penggunaan bahasa asing, untuk memberi kesan modern, inovatif, dan menarik.
Keempat, default option, yakni menjadikan opsi ramah lingkungan sebagai pilihan otomatis kecuali konsumen memilih alternatif lain. Kelima, umpan balik (feedback), berupa informasi langsung mengenai dampak positif tindakan mereka seperti jumlah emisi yang berhasil dihemat.
Terakhir, priming kontekstual, yaitu menghadirkan visual, warna, atau kata-kata yang secara tidak sadar mendorong individu memilih opsi yang lebih bertanggung jawab.
Prof. Lilik menyampaikan bahwa generasi Z, yang kini berusia 18 hingga 23 tahun, merupakan kelompok usia terbesar di Indonesia. Tiga dari empat konsumen muda lebih memilih produk berkelanjutan, dan banyak yang aktif menyuarakan perubahan melalui forum maupun media sosial.
Generasi ini adalah aktor penting dalam transisi menuju gaya hidup ramah lingkungan. Namun, tantangan tetap ada, karena budaya konsumsi instan dan tren fast fashion kerap bertentangan dengan nilai keberlanjutan. Karena itu, dibutuhkan strategi yang mampu menjembatani kesadaran tinggi dengan tindakan nyata.
“Gen Z diposisikan sebagai agen perubahan yang kuat dan pengadopsi awal gaya hidup berkelanjutan. Media sosial menjadi ruang utama bagi Gen Z untuk mencari informasi, inspirasi, sekaligus mengekspresikan identitas,” tutur Prof. Lilik.
Menurutnya, Gen Z bukan hanya pengguna, tapi juga pencipta konten karena membuat video, mengikuti challenge, dan mengajak jejaring mereka melakukan hal yang sama. Jika pesan keberlanjutan dikemas dengan visual yang menarik, cerita yang relevan, dan kolaborasi dengan influencer, peluang untuk memengaruhi perilaku akan semakin besar.
“Setelah memahami bahwa Gen Z merespons strategi yang halus dan emosional, kolaborasi dengan media sosial menjadi semakin strategis. Dorongan halus menyusun ulang pilihan, sementara itu media sosial membentuk norma dan identitas,” ujarnya.
Keduanya sama-sama bekerja pada sistem 1 pada otak manusia, yakni membuat perubahan perilaku terasa spontan, menyenangkan, dan sesuai dengan nilai yang diyakini Gen Z. Dengan sinergi ini, lanjutnya, pesan keberlanjutan dapat disampaikan bukan hanya sebagai ajakan, tetapi sebagai gaya hidup yang relevan dan aspirational bagi Gen Z.
Prof. Lilik menyampaikan bahwa Aplikasi dorongan halus dalam mendorong konsumsi berkelanjutan dapat diterapkan di berbagai sektor. Pada ranah pemerintah, strategi ini diwujudkan melalui default option, insentif hemat energi, serta infrastruktur pendukung yang diintegrasikan ke dalam RPJMN 2025–2029 dengan dukungan lintas kementerian dan pengambil kebijakan.
Di bidang akademisi, pendidikan dan riset lintas disiplin berperan membentuk pola pikir Generasi Z melalui kurikulum keberlanjutan, green campus, dan penelitian berbasis nudging serta media sosial.
Bagi pelaku usaha/industri, transformasi menuju ekonomi sirkular dapat dipacu dengan eco-label, program loyalitas hijau, penempatan produk berkelanjutan, serta kolaborasi dengan influencer digital, didukung regulasi pemerintah dan asosiasi bisnis.
Pada level komunitas, norma sosial dapat dibentuk lewat gerakan RT/RW maupun komunitas digital yang mengampanyekan gaya hidup minim limbah dan hemat energi.
Sementara itu, media memiliki kekuatan besar menyebarkan norma baru melalui storytelling, visual kreatif, tantangan viral, serta kolaborasi dengan influencer dan algoritma platform, sehingga mampu memperkuat kampanye nasional menuju perilaku konsumsi berkelanjutan.
Prof. Lilik Noor Yuliati Ungkap Peran Nudging dan Medsos dalam Membentuk Perilaku Konsumsi Berkelanjutan Gen Z
