Bogor, Technology-Indonesia.com – Siapa tak kenal nata de coco? Makanan berwarna bening mirip jeli dan bertekstur kenyal ini terbuat dari fermentasi air kelapa. Selain diolah menjadi nata de coco, ternyata air kelapa juga bisa menjadi bahan pembuatan bioplastik yang ramah lingkungan.
Myrtha Karina Sancoyorini, peneliti Loka Penelitian Teknologi Bersih, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) saat ini sedang mengkaji lignoselulosa sebagai bahan yang ramah lingkungan untuk pembuatan bioplastik. Salah satunya adalah fermentasi air kelapa yang biasa digunakan untuk pembuatan nata de coco.
“Dalam kondisi kering, nata yang merupakan fermentasi air kelapa bersifat sangat kaku sehingga sangat sesuai untuk plastik yang bersifat kaku. Untuk aplikasi yang memerlukan elastisitas tinggi dan transparan, nata dapat di rekayasa menggunakan modifier,” jelas Myrtha dalam Diskusi Publik “Kartini Indonesia dan Ilmu Pengetahuan” pada Kamis (18/4/2019) di Bogor, Jawa Barat.
Penelitian Myrtha berawal dari keprihatinan pada maraknya penggunaan produk-produk plastik yang mencemari lingkungan. Konsumsi plastik di Indonesia hampir 70% untuk produk kemasan. Produk plastik seperti kantong plastik, stereoform, gelas pastik, botol plastik, dan lain-lain ini tidak mudah bahkan sangat sulit diuraikan. Bahkan ada produk plastik yang tidak bisa dihancurkan.
“Kemasan kantong plastik atau biasa disebut kantong kresek dibuat dari polymer yang dinamakan Low density polyethylene (LDPE). Kantong pastik ini berubah hanya secara fisik antara antara 500 hingga 1.000 tahun, baru fisik belum terdegradasi,” ungkapnya.
Lebih lanjut Myrtha menerangkan bahwa bahan plastik yang ada sekarang ini terbuat dari minyak bumi yang berasal dari fosil yang tidak dapat diperbaharui dan jumlahnya semakin menipis sementara permintaan meningkat. Sumber minyak di Indonesia sekitar 7,4 juta barel, jika tidak ditemukan sumber baru, minyak bumi diperkirakan habis pada 2028.
Sementara, pengelolaan limbah plastik di rumah tangga maupun perkantoran masih banyak yang mencampurkan sampah plastik dengan sampah lain. Pengelolaan sampah plastik melalui pembakaran jika tidak sesuai persyaratan akan menimbulkan gas dioksin yang bisa memicu penyakit kanker.
Di Indonesia, menurut Myrtha, sebenarnya sudah diproduksi beberapa bioplastik di Indonesia berbasis pati singkong. Beberapa industri komersial sudah memproduksi kantong kresek yang bisa hancur dalam 180 hari tidak hanya secara fisik tapi biologis.
“Namun harga bioplastik ini masih mahal, 12 kali lebih mahal dari kantong plastik biasa. Selain itu, bioplastik dari pati singkong harus berkompetisi dengan pangan. Karena itu, harus mencari singkong-singkong yang tidak untuk konsumsi,” terangnya.
Salah satu solusinya, terang Myrtha, adalah mengembangkan bioplastik dari limbah industri agro. Bioplastik atau biodegradable plastik merupakan plastik yang dibuat dari bahan organik atau biomass dari pertanian dan atau dari mikroba. Limbah industri agro di Indonesia sangat banyak misalnya dari industri air kelapa bisa dipakai air kelapa, dari pabrik tahu dan pabrik tapioka ada limbah cair, dan dari penggilingan padi ada dedak/bekatul.
“Keuntungan bioplastik bisa hancur secara alami menjadi CO2 dan H2O, jadi tidak ada residu. Ini bisa menjadi solusi pengolahan limbah plastik,” tuturnya.
Myrtha mengungkapkan, air kelapa dengan bantuan salah satu bakteri Gluconacetobacter xylinum ditambah asam asetat diolah menjadi lembaran-lembaran lebar sesuai cetakan. Lembaran-lembaran ini jika di pasaran dipotong-potong menjadi nata de coco. Air kelapa atau limbah agro lainnya sebetulnya merupakan sumber makanan, sumber karbon, sumber energi untuk bakteri penghasil lapisan-lapisan.
Dalam pengembangan bioplastik, Loka Penelitian Teknologi Bersih LIPI berusaha mengurangi bahan kimia yang digunakan. Misalnya, asam asetat digunakan dari hasil fermentasi buah-buahan dan untuk menetralkannya menggunakan kapur sirih.
Nata atau lapisan-lapisan tersebut, terang Myrtha, sifatnya opak atau tidak transparan, kuat dan kaku. Sementara untuk plastik perlu sifat yang fleksibel dan transparan. Pihaknya kemudian memodifikasi bakteri cellulose yang memiliki sifat tarik kuat namun tidak elastis. Karena itu perlu mengubah elastisitas agar sesuai dengan plastik. Intinya, limbah-limbah limbah agro bisa dibuat beberapa produk plastik.
“Beberapa penelitian kita menunjukkan beberapa sifat elastisitas bisa berubah yang harapannya bisa untuk plastik. Misalnya untuk pengemas makanan layak santap. Sementara untuk membuat kantong belanja masih dalam proses pengembangan karena harus dibuat biji plastik,” pungkasnya.