Keju Halal Berawal dari Starter Halal

Padang –  Keju merupakan makanan yang dihasilkan dengan memisahkan zat-zat padat dalam susu melalui proses pengentalan atau koagulasi dengan bantuan bakteri atau enzim tertentu yang disebut rennet. Hasil dari proses tersebut nantinya akan dikeringkan, diproses, dan diawetkan dengan berbagai macam cara sesuai dengan jenis keju yang diinginkan.Di Indonesia, bahan baku pembuatan keju umumnya air susu adalah sapi.

Keju memiliki gaya dan rasa yang berbeda-beda, tergantung jenis air susu yang digunakan, jenis bakteri atau jamur yang dipakai dalam fermentasi, lama proses fermentasi maupun penyimpanannya. Walaupun ada ratusan jenis keju yang diproduksi di seluruh dunia, namun keju secara mendasar dibuat dengan cara yang sama.

Risfaheri, Kepala Balai Besar Litbang Pasca Panen Pertanian Kementan komponen penting pembuatan keju, yaitu starter kini masih diimpor dari Kanada, Belanda atau negara-negara Eropa lain yang bukan muslim. Sehingga masalah halal masih dipertanyakan. Hal ini pula yang mendorong BB Litbang membuat starter khususnya dalam bentuk kering untuk pembuatan keju.

Unsur yang diragukan kehalalannya, kata Risfaheri terutama rennet, yaitu enzim penggumpal yang mestinya dari usus jenis binatang yang dibolehkan dikonsumsi kalangan muslim. “Starter ini tengah diproses ke MUI,” ujar pria yang menyandang gelar profesor riset ini.

Sri Usmiati, peneliti bidang mikroorganisme BB Litbang Pasca Panen Pertanian ditunjuk sebagai koordinator pembuatan starter kering. Sejak 2017, Sri berkutat pembuatan starter untuk pengolahan produk berbasis susu. “ Proses fermentasi sudah banyak, untuk tahu, tape singkong dan lainnya. Tinggal bagaimana membuat starter untuk membuat keju,” ujarnya.

Wanita peneliti madya ini mengajak media berkunjung ke “Rumah Keju” yang merupakan pusat produksi keju di Padang Panjang. Beberapa peralatan tampak berjejer, lengkap dengan lemari pendingin untuk penyimpanan keju.

Dalan tahapan dalam pembuatan keju, kata Sri, tahap pertama pengasaman dengan memanaskan susu dalam suhu tertentu untuk membunuh mikroba pembusuk pada susu. Selanjutnya, susu diberi kultur bakteri asam laktat, yaitu Streptococcus dan Lactobacillus. Bakteri-bakteri ini memakan laktosa pada susu dan merubahnya menjadi asam laktat. Saat tingkat keasaman meningkat, zat-zat padat dalam susu (protein kasein, lemak, beberapa vitamin dan mineral) menggumpal dan membentuk dadih.

Selanjutnya, bakteri rennet ditambahkan ke dalam susu yang dipanaskan yang kemudian membuat protein menggumpal dan membagi susu menjadi bagian cair (air dadih) dan padat (dadih). Air dadih ini (whey) juga diaplikasikan BB Litbang Pasca Panen untuk dibuat nata de whey, sejenis nata de coco yang juga kini digemari masyarakat.

Sedangkan dadih keju kemudian dihancurkan menjadi butiran-butiran. Rennet ini juga mengubah gula dalam susu menjadi asam dan protein yang ada menjadi dadih.

Pengolahan selanjutnya, bergantung jenis keju yang diinginkan. Untuk jenis keju lunak, dadih dipindahkan ke dalam cetakan. Sebaliknya untuk jenis keju keras, dadih diiris kecil dengan menggunakan mesin khusus supaya mengeluarkan lebih banyak air dadih.

Dadih juga melalui proses pencetakan, penekanan, dan pengasinan. “Untuk rasa asin ditambahkan garam, dan juga bisa diberikan rasa khas tertentu seperti rasa sedikit pedas atau balado seperti di Padang Panjang ini,” papar Sri.

Selanjutnya, keju haruslah ditekan sesuai dengan tingkat kekerasan yang diinginkan. sebagian besar keju melewati proses penekanan. Waktu dan intensitas penekanan berbeda-beda bagi setiap keju. “Bisa makan waktu 12 jam untuk proses penekanan ini,” kata Sri.

Proses akhir, pematangan keju. Selama proses pematangan, keju dijaga agar berada pada temperatur dan tingkat kelembaban tertentu hingga keju siap dimakan. Waktu pematangan ini bervariasi mulai dari beberapa minggu untuk keju lunak hingga hari untuk keju keras.

Rumah Keju Padang Panjang juga dilengkapi mesin stretching. Mesin ini berfungsi menghasilkan tekstur berserabut. Contoh keju yang melewati proses ini adalah keju Mozzarella. Sedangkan untuk jenis keju gouda yang juga dihasilkan di rumah produksi ini,  harus melalui penyimpanan yang memakan waktu lama yaitu sekitar 4 bulan (gouda muda), hingga satu tahun (gouda tua) dalam suhu 12-14 derajat Celcius. “Sebelum disimpan, keju gouda dibungkus (coating) dengan beeswax atau sejenis lilin yang mampu menahan metabolisme dalam keju tidak keluar,” ujar Sri.

Sri mengatakan, teknologi pengolahan keju di luar negeri umumnya menggunakan spray drying dan freeze drying dengan suhu tinggi. “Kelemahannya, beberapa bakteri bisa ikut mati,” tukasnya.   Sementara saat ini,  BB Litbang Pasca Panen mengaplikasikan dengan teknologi extrusi dalam suhu 40 derajat.

Abu Bakar, peneliti utama bidang keamanan hayati BB Litbang Pasca Panen Pertanian mengatakan semua produk penelitian harus melalui uji laboratorium yang ketat. “Mulai dari bahan starter yang mampu hasilkan keju yang baik hingga prosedur standar operasional yang benar,” ujarnya. Selanjutnya juga dilakukan uji konsumen (uji perefensi) dengan membandingkan jenis keju yang sama di pasar, baik dari rasa, warna dan tekstur.

You May Also Like

More From Author