Kawasan lereng Gunung Merapi dengan keragaman potensi alamnya menjadi penyangga bagi daerah-daerah pemukiman di bawahnya. Namun aktivitas pemanfaatan lahan secara tidak bertanggung jawab kerap menimbulkan dampak negatif bagi kawasan konservasi tersebut. Untuk mengembalikan kelestarian dari kawasan Merapi diperlukan kerja sama intensif berbagai pihak.
Hal ini disampaikan Wakil Gubernur DIY KGPAA Paku Alam X dalam acara Sarasehan Desa Penyangga dengan Taman Nasional Gunung Merapi pada Rabu (22/2/2017) di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Acara ini diselenggarakan atas kerja sama Fakultas Kehutanan UGM, Pusat Studi Asia Pasifik, Taman Nasional Gunung Merapi, serta Pemerintah Desa Wonokromo.
“Kawasan Merapi tidak luput dari kerusakan dan pengurangan luasan karena diperebutkan oleh berbagai pihak yang ingin memanfaatkan kekayaan alam yang dimiliki. Karena itu upaya konservasi pada puncak Merapi mutlak diperlukan,” ujar Paku Alam dalam sambutan tertulis yang dibacakan Sutarto, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY.
Dalam acara ini dilakukan penyerahan tanaman anggrek yang menjadi simbolisasi pelepasliaran tanaman anggrek yang sebelumnya diasuh oleh masyarakat. “Kegiatan ini menjadi penting mengingat tanaman anggrek Merapi perlu dilestarikan agar keanekaragaman terjaga dan tetap lestari,” imbuh Paku Alam.
Kawasan lereng Merapi dikenal sebagai habitat beragam jenis tanaman anggrek. Secara keseluruhan, ada sekitar 95 jenis anggrek yang tumbuh di sekitar Gunung Merapi. Sebagian di antaranya tergolong spesies langka. Namun, kondisi alam maupun faktor manusia menyebabkan jumlah anggrek di kawasan lereng Merapi semakin berkurang.
Persoalan ini mendorong dimulainya program adopsi anggrek sekitar dua tahun lalu. Dalam program ini, sebanyak 28 pengadopsi diberikan bibit anggrek untuk dipelihara dan dikembangkan di luar kawasan Merapi. Setelah tumbuh menjadi tanaman dewasa, anggrek akan dilepas kembali di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi.
Desa Wonokromo menjadi salah satu lokasi pengembangbiakan bibit-bibit anggrek asli Merapi. Puluhan warga di dusun ini membangun sendiri green house atau rumah budidaya anggrek. Menurut Kepala Desa Wonokromo Tomon Haryo Wibisono, selain sebagai upaya pelestarian lingkungan, kegiatan ini juga menjadi salah satu upaya pemberdayaan masyarakat desa.
“Bagi kami kerja sama ini sangat membanggakan, karena desa tidak mungkin bisa berjalan sendiri tanpa lembaga lain yang memberikan dukungan. Kalau desa hanya jalan sendiri hasilnya pasti itu-itu saja. Saya harap kerja sama ini bisa terus berkembang dan bermanfaat,” ujarnya.
Selain pelestarian anggrek, kerja sama antara UGM, Taman Nasional Gunung Merapi, dan Pemerintah Desa Wonokromo juga berkaitan dengan berbagai program pelestarian ekosistem tanah dan air. Kerja sama berbagai pihak ini menjadi intisari pembahasan dalam sarasehan. Keterlibatan warga dalam program-program ini, menurut Dekan Fakultas Kehutanan Budiadi, menjadi salah satu faktor paling krusial bagi keberhasilan usaha-usaha konservasi yang direncanakan.
“Birokrat di kementerian membutuhkan peran aktif masyarakat dalam melestarikan atau membangun hutan yang mereka tinggali. Peran aktif warga desa untuk kelestarian hutan pada akhirnya manfaatnya akan kembali kepada mereka sendiri dan juga pada masyarakat sekitarnya,” terangnya.