Jakarta, Technology-Indonesia.com – Potensi lahan rawa lebak di Indonesia harus terus didorong guna mendukung peningkatan produksi padi. Kendala utama pertanian padi di lahan rawa lebak adalah fluktuasi tinggi muka air yang sulit dikendalikan dan ancaman penyakit blast.
Kedua masalah tersebut sangat merisaukan petani lahan rawa lebak, dan terungkap saat temu lapang dengan para kelompok tani, penyuluh, pegawai dinas pertanian, dan para peneliti Badan Litbang Pertanian (Balitbangtan) di Desa Hambuku Raya, Kecamatan Sungai Pandan, Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), Kalimantan Selatan (Kalsel) pada Kamis (9/8/2018).
Kepala Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Dedi Nursyamsi pada kesempatan tersebut menuturkan konsep mini polder dalam pengelolaan tata air terbukti meningkatkan indeks pertanaman (IP) lahan sawah di rawa lebak dari tanam sekali dalam setahun menjadi dua kali setahun. Lahan rawa lebak yang luasnya sekitar 25 juta hektar sangat berpotensi ditingkatkan potensinya.
Peneliti Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi), Indrastuti A. Rumanti, mengungkapkan varietas unggul padi yang toleran terhadap genangan serta penyakit blast menjadi salah satu komponen teknologi penting dan murah untuk mengatasi permasalahan di lahan rawa.
Indras menjelaskan, BB Padi telah memiliki beberapa varietas unggul baru (VUB) yang adaptif terhadap genangan antara lain Inpari 29 Rendaman, Inpari 30 Ciherang Sub1, Inpara 3, Inpara 4 dan Inpara 8 Agritan.
Inpara 3 dan Inpara 4 dapat diperkenalkan pada petani lahan lebak yang membutuhkan umur dalam. Kedua varietas ini memiliki umur sekitar 127 dan 135 hari setelah semai (HSS). Sedangkan Inpari 29 rendaman, Inpari 30 Ciherang Sub1 dan Inpara 8 Agritan memiliki umur lebih pendek karena dapat dipanen pada umur 110 – 120 HSS.
Varietas-varietas tersebut toleran terhadap rendaman selama 6 – 14 hari pada fase vegetatif, selain itu dapat bertahan hidup dalam kondisi tenggelam hingga 14 hari berturut-turut.
Inpara 3 dan Inpara 8 Agritan memiliki sifat istimewa, yakni mampu memanjangkan tinggi tanamannya mengikuti tinggi muka air, sehingga dapat bertahan pada kondisi genangan (stagnant flooding) 60 sampai 80 cm hingga fase generatif. Dari potensi hasil, Inpari 29 memiliki produktivitas 9,5 ton/ha, Inpari 30 (9,6 ton/ha), Inpara 3 (5,6 ton/ha), Inpara 4 (7,6 ton/ha), dan Inpara 8 (6 ton/ha).
Inpara 8 Agritan dapat ditingkatkan potensi hasilnya jika dibudidayakan dengan baik. Yuri, petani di Cilacap melaporkan memperoleh 455 kg per 500 m2 atau hampir mencapai 10 ton/ha di lahan lebakan.
“Inpara 8 itu bagus, tahan rendaman, toleran pada tanah dengan pH rendah. Produksinya juga tinggi, karena pengisian bulirnya juga bagus. Inpari 8 bisa tumbuh baik di lahan rawa maupun di lahan tadah hujan,” ujar Yuri.
Yuri berharap Inpara 8 tinggi tanamannya dapat lebih pendek, rasa nasi pulen, batangnya kuat dan anakannya banyak.
Untuk mengatasi penyakit blast, Inpari 22, Inpari 42 Agritan, Inpari 43 Agritan, dan Inpara 8 dapat diperkenalkan untuk dibudidayakan oleh petani lahan rawa.
Varietas-varietas di atas akan diperkenalkan melalui demontration plot (demplot) yang bertujuan untuk mengetahui preferensi petani, pedagang benih/beras dan pengusaha penggilingan. Demplot juga berfungsi sebagai upaya seleksi varietas atau Plant Varietal Selection.
“Melalui demplot, pemulia padi akan mendapatkan umpan balik guna memperbaiki kekurangan varietas yang dikenalkan. Varietas yang terpilih diharapkan dapat diterima dan diadopsi oleh petani lebak, sekaligus dapat mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada di lahan lebak,” pungkas Indras. Indrastuti A. Rumanti & Swisci Margaret/Saefoel Bachri/SB