Jakarta, Technology-Indonesia.com – Jambu mete merupakan komoditas penting terutama di Kawasan Timur Indonesia. Luas areal perkebunan jambu mete di Indonesia 99.79% adalah perkebunan rakyat dengan sentra produksi di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Jawa Timur.
Pengembangan tanaman jambu mete mengalami peningkatan yang sangat pesat. Pada tahun 1975 terdapat 58.381 hektare (ha) areal perkebunan jambu mete dengan produksi 9.123 ton. Pada 2016, meningkat tajam menjadi 514.491 ha dengan tingkat produksi 137.026 ton. Data Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun) tahun 2017 menyebutkan volume ekspor jambu mete tahun 1977 sebesar 23 ton dengan nilai US$ 90 ribu meningkat 70.326 ton dengan nilai US$ 166 juta pada 2016.
Namun, pesatnya pengembangan jambu mete tidak diiringi dengan peningkatan produktivitas yang signifikan. Tingkat produktivitas jambu mete masih rendah yaitu 430 kg gelondong/ha/tahun (Ditjenbun, 2017). Produktivitas ini jauh dibawah produktivitas mete India yang mencapai 900 kg gelondong/ha/tahun (Bhat et al., 2010), dan Nigeria 2.286 kg gelondong/ha/tahun (Adeigbe et al., 2015).
Rudi Suryadi, peneliti dari Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) Badan Litbang Pertanian mengatakan rendahnya produktivitas tanaman jambu mete salah satunya disebabkan oleh bahan tanaman yang digunakan untuk pengembangan berasal dari biji dengan kualitas genetik rendah.
Tanaman jambu mete mempunyai sifat menyerbuk silang (cross pollination) sehingga perbanyakan dengan biji akan menghasilkan keturunan dengan karakter fenotipik bervariasi yang tidak sama dengan induknya (Valencia et al., 2008). Selain itu, banyak tanaman yang sudah tua dan rusak. Pertanaman jambu mete yang sudah tua dan rusak pada tahun 2016 mencapai 82.054 ha atau 15,98 % dari total luas pertanaman jambu mete (Ditjenbun, 2017).
Upaya untuk meningkatkan produktivitas jambu mete, terang Rudi, adalah melalui kegiatan pengembangan, peremajaan dan rehabilitasi pertanaman jambu mete yang sudah tua atau berumur diatas 30 tahun dan rusak. Teknologi yang diterapkan adalah teknologi penyambungan (grafting) menggunakan varietas unggul yang disertai dengan penerapan teknologi budidaya yang baik dan benar sesuai Good Agriculture Practices (GAP).
Lebih lanjut Rudi menerangkan, penelitian penyambungan sudah banyak dihasilkan, baik penyambungan di pembibitan maupun langsung di lapang (top working). Tingkat keberhasilan penyambungan di pembibitan antara 80 – 90%, dan penyambungan langsung di lapang berkisar 70 – 86%.
Di India upaya untuk meningkatkan produktivitas jambu mete adalah dengan mengganti tanaman yang produktivitasnya rendah dengan benih dari varietas unggul hasil grafting, sehingga dapat meningkatkan produktivitas sebesar 100-140% (Yadav, 2010).
Menurut Rudi, saat ini sudah dilepas 9 varietas unggul jambu mete dengan potensi produksi antara 5,97 sampai 37,44 kg gelondong/pohon/tahun atau rata-rata 16,70 kg gelondong/pohon/tahun. Apabila kegiatan pengembangan, peremajaan dan rehabilitasi menerapkan teknologi penyambungan menggunakan entres dari varietas unggul dengan populasi 100 tanaman/ha, maka produktivitas jambu mete dapat ditingkatkan menjadi 1.670 kg gelondong/ha/tahun atau meningkat 300% dari produktivitas saat ini yang baru mencapai 430 kg gelondong/ha/tahun.