Jakarta, Technology-Indonesia.com – Bencana Gempa yang menimpa di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah (Sulteng) memang memilukan. Terlebih lagi, Kabupaten Sigi merupakan salah satu kabupaten sentra padi provinsi Sulteng, sehingga menurunkan luas areal tanam dan produksi beras.
Mengembalikan semangat para petani yang terdampak gempa ini untuk kembali ke lahan mereka menjadi tantangan tersendiri di tengah kepiluan dan rusaknya lahan pertanian. Dalam kondisi yang serba terbatas, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) berhasil menunjukan bahwa lahan pertanian yang rusak terkena bencana dapat kembali produktif dan menjadi sumber pendapatan.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Balitbangtan Sulteng mengambil peran koordinasi dan pendampingan untuk membuat demplot sistem pertanian di Desa Karawana, Kecamatan Dolo, Kabupaten Sigi seluas 13 hektare (ha). Lahan ini, sebelum gempa terjadi merupakan lahan sawah irigasi produktif ditanami dua kali setahun atau IP 200, dan merupakan sumber pendapatan utama para petani setempat.
Bencana gempabumi dan likuifaksi pada 28 September 2018 menyisakan lahan sawah yang rusak dan tidak produktif. Lahan sawah yang tadinya datar menjadi tidak rata bahkan bergelombang sehingga menyulitkan pengolahan. Bendungan Gumbasa dengan jaringan irigasi yang rusak mengakibatkan lahan yang tadinya banyak air menjadi kering kerontang. Di musim kemarau dengan matahari yang sangat terik, lahan sawah ini ditinggalkan dan menganggur. Ketersediaan air menjadi masalah utama.
Dampak lain gempa adalah tekanan psikologis, lahan yang rusak membuat petani enggan mengolah lahan. Lahan yang bergelombang dengan air yang tidak ada menyulitkan olah lahan. Sementara, tuntutan ekonomi harian tidak dapat ditunda. Jika dibiarkan, masalah-masalah sosial mulai bermunculan.
Kepala BPTP Balitbangtan Sulteng, Dr. Andi Baso Lompengen mengatakan, saat meninjau kerusakan bencana ke Sigi, Menteri Pertanian menugaskan Balitbangtan melalui BPTP Balitbangtan Sulteng untuk memberikan percontohan bagaimana lahan rusak ini bisa menjadi produktif dan menghasilkan.
“Kembalikan petani kepada lahannya. Tunjukan bahwa lahan ini bisa diolah,” kata Andi Baso saat Panen Tumpang Sari Tanaman (Turiman) dalam kegiatan Optimalisasi Lahan Terdampak Gempa Pasigala Melalui Dukungan Inovasi Pertanian IP 200 Turiman Padi Gogo – Jagung di Kabupaten Sigi pada 15 Agustus 2019.
Menurutnya, lahan sawah terdampak gempa dan likuifaksi di Kabupaten Sigi seluas 6.611.2 hektare (ha) terdiri dari 5.334,9 ha rusak ringan, 895,14 ha rusak sedang, dan 380,14 rusak berat. Dengan teknologi pengelolaan lahan, pemilihan varietas, dan teknologi budidaya, lahan tersebut dapat disulap menjadi lahan produktif. Namun, kebersamaan dan kesadaran adalah kunci keberhasilan upaya tersebut.
Wakil Bupati Sigi, Paulina, SE, MM mengungkapkan bahwa dia melihat ibu-ibu Sigi mulai pergi ke kota Palu untuk mencari pekerjaan. Hal tersebut wajar karena kebutuhan harian tidak bisa ditunda. Untuk itu, pihaknya mengapresiasi Kementerian Pertanian yang telah menunjukkan contoh sistem pertanian di lahan eks bencana.
“Tadi kita panen jagung membuktikan lahan bisa ditanami dan lahan dapat menghasilkan untuk kebutuhan harian. Ini bisa dicontoh di tempat lain. Saya mengajak kita semua merubah paradigma dari bertanam jagung berbuah jagung, menjadi bertanam jagung berbuah uang,” kata Paulina.
Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sulteng, Ir. Trie Iriany Lamakampali mengingatkan agar kita meninggalkan kepiluan dan mensyukuri apa yang ada saat ini.
“Tadi kita sama-sama lihat lahan masih bisa ditanami. Kita hadirkan teknologi. Ini bukti negara hadir. Pemerintah Provinsi sudah dan terus membantu agar lahan menjadi produktif dan menghasilknya. Kementerian Pertanian telah memberikan contoh, bahwa bisa berhasil di tengah kondisinya yang serba terbatas,” kata Trie Iriany.
Sementara itu, Kepala Puslitbang Tanaman Pangan Dr. Haris Syahbuddin mewakili Kepala Badan Litbang Pertanian dalam sambutannya mengatakan bahwa, “Kita harus move on. Kita terus kembangkan teknologi mulai teknologi pengelolaan air seperti tadi kita lihat, teknologi varietas tahan kering, teknologi budidaya. Kita telah tunjukan dan menghasilkan. Badan Litbang Pertanian siap membantu para petani dengan teknologi dan pendampingan. Tadi kita panen dan tongkol jagungnya besar-besar. Kita tunjukan dan kita terus kembangkan.”
Teknologi Watergun dan Sumur Dangkal
Keberhasilan mengolah lahan gersang dan tandus menjadi lahan produktif dan menghasilkan sangat ditentukan kejelian permasalahan dan potensi lahan. Ketersediaan air adalah masalah utama di lahan ini.
Pemanfaatan teknologi sumur dangkal dikombinasikan dengan sistem irigasi watergun sprinkler menyebabkan pengairan lebih efisien. Sistem ini dapat menghemat penggunaan air karena air akan merata dan tepat jatuh di titik tumbuh tanaman dengan jangkauan 14 meter.
“Lembah Palu termasuk kategori wilayah lahan kering iklim kering. Tekstur tanahnya sedang dan saat kemarau tanah nampak berdebu tetapi jika diolah bagus untuk pertanian. Air adalah masalah utama. Penggunaan sumur dangkal dan watergun ini memang kami rekomendasikan untuk diterapkan,” kata Dr. Yiyi Sulaeman, Kepala Bidang Kerjasama dan Pendayagunaan Hasil Penelitian mewakili Kepala Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Bogor.
Yiyi menambahkan di lahan seperti ini teknologi eksplorasi potensi sumur air dangkal perlu diterapkan. Jika sudah ketemu dibuat sumur kemudian air ditarik ke atas dan ditampung di bak penampungan. Selanjutnya watergun mengambil air dari bak penampungan yang didorong oleh mesin pompa.
“Ini tidak sembarangan karena perlu perhitungan cermat tentang debit air, kedalaman sumur, panjang dan dimensi paralon, dimensi bak tampung, spesifikasi mesin pompa dan luas areal yang diairi. Saya meyakini jika sumur dangkal dan watergun diterapkan di daerah yang terdampak, lahan-lahan ini akan menjadi produktif lagi,” tuturnya.
Pembuatan sumur ini menghabiskan biaya investasi sekitar 25 juta. Sementara, pembelian mesin pompa penarik air sekitar 10 juta. Jadi untuk satu sumur dangkal dengan kedalaman sekitar 10 sampai 15 meter memerlukan investasi sekitar 35 jutaan.
Biaya investasi untuk irigasinya sekitar 20 juta. Biaya itu sudah termasuk 1 mesin pompa, selang, dan 3 alat watergun. Untuk penyiraman diperlukam biaya 100 ribu per hari untuk membeli bahan bakar minyak (BBM). Petani sendiri yang melakukan penyiraman. Namun untuk sumur bisa mengunakan panel surya untuk depannya.
Turiman tingkatkan produksi dan diversifikasi hasil
Turiman atau tumpang sari tanaman merupakan salah satu teknik budidaya yang dapat mengefisiensikan sistem produksi. Penggunaan varietas toleran kekeringan juga lebih menghemat air.
Demfarm ini menanam jagung yang toleran yaitu varietas Sukmaraga dan Varietas Lamuru. Hasil ubinan jagung varietas lamuru pada pola turiman adalah 9.4 ton/ha dan hasil ubinan varietas sukmaraga pada pola monokultur 6.2 ton/ha. Kelebihan Turiman, petani masih bisa memanen padi gogo yang juga menjadi tambahan pemasukan.
Selain implementasi teknologi budidaya, rekayasa kelembagaan pun dilakukan. Inovasi kelembagaan meliputi peningkatan kapasitas petani dan penyuluh, inisiasi kelembagaan ekonomi berupa Unit Usaha Agribisnis “Semangat Bersama” yang bergerak di bidang perbenihan dan pemasaran jagung, kelompok Unit Pengelola Jasa Alsintan “Karya Bersama” dan Usaha Penyediaan Saprodi “Maju Bersama” di Kelompok Tani Padaelo II Desa Karawana.
Peningkatan produksi dan optimalisasi lahan merupakan hal penting penting untuk peningkatan pendapatan, mengembalikan semangat petani untuk kembali ke lahan dan bertami itu juga teramat penting. Di lahan lah para petani mendapat pendapatan dan dari lahannyalah petani dapat memenuhi keperluan hariannya.
Dengan ganti paradigma menanam jagung berbuah jagung menjadi menanam jagung berbuah uang, ekonomi kerakyatan di Sigi dapat dibangkitkan. (yy)