Serongsong, Kultivar Tembakau Tahan Hama

Technology-Indonesia.com – Serangan hama ulat grayak masih mengkhawatirkan petani tembakau karena bisa menyebabkan gagal panen total. Dari beberapa teknik pengendalian hama ini, penggunaan kultivar tahan hama memiliki keunggulan karena penerapannya mudah dan tidak memerlukan pelatihan teknologi khusus pada petani.
Sri Adikadarsih, peneliti Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat (Balittas) Malang menerangkan tanaman tembakau merupakan komoditas penting di Indonesia, keberadaannya mampu menggerakan perekonomian nasional. Tembakau merupakan solusi bagi petani saat sektor pertanian tidak memberikan nilai tawar ekonomi yang menguntungkan.
“Keberadaan tanaman tembakau selain membuka lapangan pekerjaan dalam jumlah besar, juga untuk komoditas ekspor, dan menyumbangkan pemasukan negara terutama dari sektor cukai,” kata Sri pada redaksi Technology-Indonesia.com, Senin (26/2/2018).
Menurutnya, penerimaan cukai dari sektor tembakau pada 2015 mencapai Rp. 207,5 Trilyun. Musim panen 2017 harga jual tembakau mencapai Rp. 35.000,- hingga Rp. 37.000,- memberikan keuntungan cukup tinggi. Tahun 2017 merupakan tahun surga penjualan bagi para petani tembakau karena mereka dapat menikmati harga cukup tinggi setelah beberapa tahun mengalami keuntungan rendah.
“Di tengah euforia para petani dalam menyambut harga jual tembakau yang tinggi masih ada kekhawatiran petani yaitu masalah serangan hama pada tanaman tembakau. Keberadaan hama menyebakan keuntungan petani menjadi berkurang dan bahkan pada serangan hama tinggi menyebabkan gagal panen total,” lanjutnya
Hama ini menyerang bagian tanaman tembakau yang memiliki nilai ekonomi tertinggi yaitu daun. Serangan hama ini secara langsung menyebabkan petani mengalami kerugian besar. Salah satu ancaman terbesar pada tanaman tembakau adalah serangan ulat grayak (Spodoptera litura).
Ulat grayak merupakan serangga hama polifag dan memiliki kisaran inang tanaman lebih dari 112 tanaman pertanian yang terdiri dari 44 famili yang tersebar pada beberapa negara di Asia. Hama ini biasanya meletakkan telur secara berkelompok, satu kelompok dapat berisi 350 butir.
Peletakkan telur secara berkelompok menyebabkan larva yang baru menetas juga berkelompok dan segera menyebar jika sudah mencapai instar ketiga. Larva instar 1-2 masih bergerombol dan memakan lapisan epidermis daun, sehingga daun menjadi kering, sedangkan larva instar 3-5 sudah terpencar dan memakan semua bagian daun kecuali tulang daun. Serangan aktif yang dilakukan malam hari menyebabkan kerusakan tanaman tembakau sangat besar.
Teknologi pengendalian ulat grayak yang banyak dilakukan adalah penggunaan asap cair tembakau, tanaman perangkap, patogen serangga, musuh alami, pestisida kimia, dan kultivar tahan. Dari beberapa teknik pengendalian hama ini, penggunaan kultivar tahan hama memiliki keunggulan karena paling mudah dalam penerapannya karena sederhana dan tidak memerlukan pelatihan teknologi khusus pada petani.
Penggunaan kultivar tahan hama, lanjutnya, dapat diintegrasikan di dalam sistem pengendalian hayati terpadu (integrated pest management). Teknologi ini menciptakan tekanan cukup luas terhadap hama jika diterapkan dalam sistem pengendalian terpadu dalam skala luas (area wide pest management).
alt
Hasil panen  tembakau Serongsong. Foto istimewa
Sesama peneliti Balittas, Heri Prabowo mengatakan kultivar lokal memiliki karakter morfologi dan kemampuan adaptasi terhadap lahan di lokasi tersebut sehingga lebih maksimal dalam menekan serangan hama. “Kultivar adalah varietas atau galur yang sudah dibudidayakan masyarakat,” lanjutnya.
Salah satu kultivar tahan hama adalah Serongsong, tembakau warisan leluhur yang banyak berkembang secara regional di Kabupaten Probolinggo. Keunggulan karakter morfologinya menyebabkan Serongsong dapat diandalkan di daerah ini untuk menangkal serangan hama.
Balittas telah melakukan uji multilokasi tembakau Serongsong untuk mengetahui respon beberapa kultivar tembakau ini terhadap serangan hama. “Hal ini perlu dilakukan karena dalam pengembangan ke depan diperlukan informasi akurat jenis kultivar Serongsong yang manakah yang paling layak untuk dikembangkan secara luas,” terang Heri
Beberapa kultivar Serongsong yang telah dilakukan uji multilokasi sejak 2016 antara lain Serongsong Balittas, Serongsong AOI, Jimamut, Samporis, dan Serongsong Super. Beberapa kultivar ini menunjukkan karakter yang mampu menangkal serangan hama.
Serangan hama pada Serongsong di kecamatan Besuk dan Krejengan Probolinggo berkisar antara 7,33-13,33%. Sedangkan pada kultivar pembanding Paiton 1 memiliki serangan hama berkisar antara 8-15%. Kultivar Serongsong memiliki tingkat serangan hama lebih rendah sebesar 14,78%.
“Tingkat serangan hama yang lebih rendah ini menunjukan bahwa kultivar Serongsong layak untuk dikembangkan ke depannya sebagai alternatif petani menghadapi serangan hama,” kata Heri.
Hasil uji multilokasi ini memperlihatkan bahwa peluang pengembangan Serongsong ke depan sangat besar. Penggunaan kultivar tahan hama merupakan teknologi yang sangat mudah untuk diterima dan diaplikasikan petani dalam skala luas.
“Selain itu, keunggulan  Serongsong sebagai kultivar unggul lokal memberikan nilai tambah sendiri. Pengembangan kultivar lokal dapat melestarikan sumber daya genetik lokal dan relatif lebih dapat bertahan terhadap lingkungan serta serangan hama,” pungkasnya.
Setiyo Bardono

Editor www.technologyindonesia.id, penulis buku Kumpulan Puisi Mengering Basah (Arus Kata, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (PasarMalam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).
Email: setiakata@gmail.com, redaksi@technologyindonesia.id

You May Also Like

More From Author