Jakarta, Technology-Indonesia.com – Indonesia menghadapi tantangan pertanian berupa degradasi lahan sehingga produktivitas pertanian melandai. Musababnya sejak 1980 Indonesia menerapkan pertanian intensif yang hanya berbasis pupuk anorganik.
“Kita melupakan pupuk organik. Kita juga jarang mengembalikan biomassa ke lahan,” kata Kepala Balai Penelitian Tanah (Balittanah), Dr. Ladiyani Retno Widowati, M.Sc, pada Webinar Pembuatan Pupuk Organik, Kamis (11/6/2020).
Dampaknya tanah menjadi sakit dengan indikator C-organik rendah. “Di masa lalu tanah kita masih sehat dengan kadar C-organik 2-5%. Kini kadar C-organik tanah umumnya kurang dari 2%,” kata Retno.
Produktivitas lahan dapat dikembalikan bila tanah kembali disehatkan dengan meningkatkan kadar C-organik. “Tentu caranya dengan mengembalikan sebanyak mungkin biomassa ke tanah. Prakteknya dengan memberikan pupuk organik,” kata Retno.
Menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan), Kementerian Pertanian, Dr. Fadjry Djufry, sebetulnya teknologi pembuatan pupuk organik telah dikuasai oleh para peneliti dan petani maju di tanah air. “Tugas kita menderaskan informasi teknologi tersebut ke petani seluas mungkin. Tujuannya agar setiap petani mampu menyehatkan tanahnya sendiri,” kata Fadjry.
Pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari tumbuhan mati, kotoran atau bagian tubuh hewan serta limbah organik lainnya yang telah melalui proses rekayasa. “Bentuk pupuk organik dapat berupa padat atau cair. Ia juga dapat diperkaya bahan mineral atau mikroba bermanfaat,” kata Fadjry.
Pengkayaan tersebut untuk meningkatkan kandungan hara dan bahan organik tanah serta memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah.
Menurut Kepala Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP), Husnain P.hD, kunci menghasilkan pupuk organik bermutu adalah pengomposan. “Dengan pengomposan proses dekomposisi biomassa dapat dikendalikan dengan baik,” kata Husnain.
Lantaran itu teknik pengomposan yang tepat itulah yang diajarkan pada publik. “Kita tunjukkan jenis bahan baku, kelembaban, aerasi serta dekomposer yang tepat,” kata Husnain.
Webinar diikuti 925 peserta yang mengakses melalui zoom dan 355 peserta yang menggunakan youtube. “Sebetulnya animo peserta lebih besar, hanya terkendala untuk masuk,” kata Husnain. Animo peserta juga terlihat dari sejumlah pertanyaan oral maupun melalui pesan tertulis.
Webinar diisi oleh narasumber yang sudah berpengalaman di bidangnya. Sebut saja Dr. IGM Subiksa yang membawakan materi proses pembuatan pupuk organik. Sementara Dr. Selly Salma membagikan teknologi pengomposan yang tepat. Terakhir Dr. Wiwik Hartatik menyampaikan bahan baku dan syarat mutu pupuk organik.
Menurut Husnain, dengan sosialisasi teknologi pembuatan pupuk organik itu diharapkan petani dapat mengkombinasikan pupuk organik dengan anorganik. “Dengan cara itu degradasi lahan dapat dicegah. Produktivitas lahan pun dapat kembali meningkat bila kadar C-organik tanah di atas 2%,” kata Husnain. (Destika Cahyana)