Jakarta, Technology-Indonesia.com – Lahan gambut merupakan lahan terisi tanah gambut yang rapuh (fragile soil). Gambut menjadi mudah berubah dan rentan rusak ketika terusik. Karena itu, pemanfaatan lahan gambut perlu kehati-hatian.
“Gambut berupa material organik sangat ringan, kesuburan rendah dengan pH masam sampai sangat masam. Dengan demikian pemanfaatan lahan gambut perlu kehati-hatian. Perlu disesuaikan potensi dan penerapan teknologi pengelolaan lahan yang tepat,” kata peneliti senior Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP), Ir Sofyan Ritung, pada Webinar Pemanfaatan Gambut Berkelanjutan, kemarin (28/5/2020).
Teknologi tepat guna misalnya berupa pengelolaan air, pembukaan lahan tanpa bakar, serta amelioran dan pemupukan. Menurut Sofyan, pemanfaatan gambut untuk pertanian perlu didahului identifikasi dan karakterisasi secara detail pada skala operasional agar tidak salah rekomendasi. “Misalnya pemetaan skala 1:25.000, bahkan untuk lahan seluas 100-200 hektare pemetaan pada skala 1:10.000,” kata Sofyan.
Lahan gambut yang termasuk ekosistem rawa juga tergolong lahan yang dinamis ketika dimanfaatkan terutama karena didrainase. “Pemutakhiran perlu dilakukan 5-10 tahun sekali agar tetap up to date,” kata Sofyan.
Pada konteks ini, BBSDLP sejak 2011 hingga 2019 telah melakukan update peta gambut 1:250.000 langsung ke pendetailan ke skala 1:50.000. “Belum sampai 10 tahun pemutakhiran telah dilakukan pada 2 level skala,” kata Sofyan.
BBSDLP juga telah melakukan pemutakhiran klasifikasi kedalaman atau ketebalan gambut untuk kepentingan pemanfaatan gambut dari semula 4 kelas menjadi 6 kelas. Saat ini dikenal gambut dangkal (50-<100 cm), sedang (100-<200 cm), dalam (200-<300 cm), sangat dalam (300-<500 cm), sangat dalam sekali (500-<700 cm), hingga ekstrim dalam >700 cm).
Peta lahan gambut Indonesia skala 1:50.000 disajikan per kabupaten/kota yang memuat informasi sebaran gambut dengan legenda tingkat kematangan dan kedalaman gambut serta beberapa sifat fisik dan kimia yang dapat digunakan berbagai kepentingan seperti penilaian potensi untuk pertanian dan lingkungan.
Saat ini gambut tersebut tersebar di 3 pulau besar yaitu Sumatera, Kalimantan, dan Papua serta sedikit di Sulawesi dengan tingkat kematangan umumnya setengah matang sampai matang. “Kedalaman gambutnya juga beragam dari dangkal hingga ekstrim dalam,” kata Sofyan.
Prof Budi Mulyanto dari Institut Pertanian Bogor (IPB) mengapresiasi cara Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) mengutamakan landform sebagai dasar metode pemetaan. “Landform mampu memberi informasi pada ekosistem seperti apa gambut terbentuk,” katanya.
Menurut Budi, metode tersebut tentu kemajuan yang berarti bagi pemetaan gambut sehingga pemetaan gambut lebih baik meskipun harus diakui masih terdapat kelemahan. (DC)