Pemetaan Lahan Gambut Lebih Detail dan Akurat dengan SNI 7925:2019

Jakarta, Technology-Indonesia.com – Salah satu instrumen penting dalam mendukung pengelolaan lahan gambut adalah tersedianya peta lahan gambut yang akurat. Penerbitan Standar Nasional Indonesia (SNI) 7925:2019 tentang Pemetaan Lahan Gambut Skala 1:50.000 menjadi acuan agar pemetaan lahan gambut lebih akurat karena memiliki standar yang sama.

Peneliti dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP), Badan Litbang Pertanian, Sofyan Ritung mengatakan standar ini merupakan revisi dari SNI 7925:2013, Pemetaan lahan gambut skala 1:50.000 berbasis citra penginderaan jauh. Perubahan terdapat pada metode survei dan pemetaan lahan gambut yang meliputi penambahan sumber data, pengambilan percontoh tanah di lapangan dan penyajian peta.

“Kita rasakan ini penting sekali untuk dilakukan pemetaan supaya arah pengelolaan lahan gambut lebih tepat. Kita mulai memperhalus, memperbaiki SNI kita dengan dua pendekatan yaitu landform dan citra penginderaan jauh,” terang Sofyan dalam Forum Standardisasi Informasi Geospasial: Implementasi dan Manfaat SNI 7925:2019 yang digelar oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) di Bogor pada Kamis (5/2/2020).

Sofyan menerangkan, pendekatan landform (bentuk lahan) membutuhkan suatu keahlian karena lahan gambut dibentuk oleh proses endogen dan eksogen. Pihaknya juga tetap menggunakan citra penginderaan jauh yang resolusinya lebih bagus. Selanjutnya, kedua pendekatan ini digabungkan menjadi satu peta intrepretasi satuan lahan. “Kita kombinasikan karena apa yang ada di bawah bisa tercermin di citra,” lanjutnya.

Hal tersebut kemudian menjadi pertimbangan sebelum melakukan delineasi ke lapangan berdasarkan ground check. Penetapan ground check didasarkan pada pertimbangan keterwakilan satuan lahan dan aksesibilitas.

“Kita kemudian membuat sampel area karena gambut biasanya terbentuk dari dua sungai besar atau dari tinggi ke bagian yang rendah/cekung atau sebaliknya. Kita buat transeknya tidak sejajar dengan sungai tapi tegak lurus,” terang Sofyan.

Sementara untuk daerah yang sudah terbuka pendekatannya melalui grid karena daerah perkebunan aksesnya lebih gampang sehingga pengamatannya bisa maksimal. Pada daerah ini, menurut Sofyan, kemungkinan bisa terjadi perubahan kedalaman. Misalnya, setelah dibuka drainasenya turun karena terjadi dekomposisi, kedalaman atau ketebalan gambut menjadi turun.

“Baik dengan sistem sampling area maupun grid, kita ambil sampel untuk dianalisa di laboratorium untuk mendukung peta final,” tuturnya.

Sofyan mengungkapkan, untuk sampel area sebenarnya sudah dilakukan saat pemetaan LREP (Land Resources Evaluation and Planning Project) tahun 1987 -1991 di Pulau Sumatera. Sampel area merupakan keterwakilan landform, landcover dan aksebilitas.

“SNI 7925:2019 yang kita terbitkan ini sebenarnya cikal bakalnya dari SNI tahun 2013 yang kita update terus. SNI ini kita lakukan dengan difasilitasi Badan Informasi Geospasial dan disahkan oleh Badan Standardisasi Nasional,” terang Sofyan.

Pemetaan lahan gambut

Pengenalan keberadaan gambut dikemukakan oleh Koorders yang mengiringi ekspedisi Ijzerman melintasi Sumatera tahun 1865. Luasnya hampir 1/5 total luas pulau Sumatera. Pada awal 1965, melalui Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S) di Pulau Sumatera dan Kalimantan, lahan gambut di Indonesia tercatat 17 juta hektare.

Pada tahun 2011, BBSDLP memetakan lahan gambut di Indonesia pada tingkat skala 1:250.000. Indonesia terpetakan memiliki lahan gambut sekitar 14,9 juta hektare (ha) yang tersebar di Sumatera (6,4 juta ha), Kalimantan (4,8 juta ha), Papua (3,7 juta ha), serta Sulawesi (24.783 ha).

Sofyan mengungkapkan, lahan gambut merupakan lahan yang terisi tanah rapuh (fragile soil) yang membutuhkan kehati-hatian dalam pemanfaatannya. Untuk itu, informasi sifat dan karakteristik tanah gambut yang lebih detail sangat diperlukan melalui pemetaan lahan gambut skala 1:50.000 atau lebih besar.

Pemetaan lahan gambut skala 1:50.000, terang Sofyan, telah dimulai oleh BBSDLP pada 2013 melalui kegiatan kerjasama dengan Indonesian Climate Change Trust Fund (ICCTF) di Provinsi Riau, Jambi, Sumbar, Sumsel, Kalbar, Kalteng, Sulteng, Sulbar, Papua, dan Papua Barat guna mendukung pemanfaatan dan pengelolaan lahan gambut berkelanjutan di provinsi tersebut.

Berkaitan dengan pemetaan lahan gambut, lanjutnya, Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial dan Kebijakan Satu Peta (One Map Policy) telah mewajibkan seluruh kementerian dan lembaga untuk menggunakan satu sumber peta dasar (Peta Rupabumi Indonesia) yang diterbitkan oleh BIG untuk menyusun peta tematik.

Kebijakan tersebut diperkuat oleh Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta pada Tingkat Ketelitian Peta Skala 1:50.000. Dalam Lampiran Perpres tersebut, BBSDLP ditunjuk sebagai wali data peta tanah dan peta lahan gambut.

SNI Pemetaan Lahan Gambut Skala 1:50.000 disusun oleh Komite Teknis 07-01, Informasi Geografi/Geomatika melalui proses perumusan standar dan terakhir dibahas dalam rapat konsensus pada 4 – 5 September 2019 di Makasar. Rapat konsensus dihadiri oleh perwakilan dari pemerintah, produsen, konsumen, pakar, dan institusi terkait lainnya. SNI ini juga telah melalui tahapan konsensus nasional, yaitu jajak pendapat pada periode 29 September – 28 November 2019.

Dengan diterbitkannya SNI 7925:2019, maka akan ada keandalan dan keseragaman data dan informasi yang dikumpulkan di lapangan serta penyajiannya dalam laporan dan peta. Hal ini sangat mendukung pengambilan kebijakan pembangunan nasional.

Setiyo Bardono

Editor www.technologyindonesia.id, penulis buku Kumpulan Puisi Mengering Basah (Arus Kata, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (PasarMalam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).
Email: setiakata@gmail.com, redaksi@technologyindonesia.id

You May Also Like

More From Author