Bogor, Technology-Indonesia.com – Data citra satelit penginderaan jauh atau remote sensing telah lama digunakan untuk mendukung berbagai kebijakan pembangunan pertanian di Indonesia. Data citra satelit penginderaan jauh (inderaja) dapat dimanfaatkan untuk mengurai berbagai permasalahan di bidang pertanian.
Peneliti Ahli Madya Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) Badan Litbang Pertanian, Rizatus Shofiyati mengatakan remote sensing merupakan suatu ilmu atau kegiatan dengan cara merasakan, mengamati, atau menganalisis suatu obyek dari jarak jauh tanpa menyentuhnya. Dalam kehidupan sehari-hari, remote sensing seperti mata yang melihat suatu benda kemudian dianalisis atau diolah di dalam otak.
“Data remote sensing dari satelit yang diterima stasiun penerima di bumi tidak secara otomatis bisa diterjemahkan oleh pengguna, namun harus diolah dulu. Setelah menjadi citra pun harus diolah lagi untuk bisa diterjemahkan menjadi informasi yang kita inginkan. Contohnya, untuk mengindentifikasi tanaman pertanian, produktivitas padi, waktu panen dan lain-lain,” kata Rizatus dalam Bimtek Online Sumberdaya Lahan Pertanian bertema “Pemanfaatan Remote Sensing di Sektor Pertanian” digelar BBSDLP secara daring pada Rabu (22/9/2021).
Menurut Rizatus, remote sensing diperlukan karena sektor pertanian memiliki beberapa permasalahan, diantaranya penurunan kesuburan tanah, pencemaran lingkungan, kesenjangan hasil yang lebar, emisi gas rumah kaca, cuaca yang semakin tidak menentu akibat perubahan iklim, meningkatnya intensitas serangan hama dan penyakit, serta penggunaan air yang tidak efisien.
Pengelolaan dan monitoring lahan pertanian secara efektif dan efisien, bisa menghasilkan rekomendasi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Untuk itu, kita memerlukan data remote sensing dengan bantuan manusia untuk menganalisis serta validasi-validasi di lapangan.
“Dengan remote sensing, kita bisa mempercepat dan menganalisis suatu wilayah yang luas. Harapannya kita bisa mempersempit senjang hasil, melihat waktu panen, memanfaatkan lahan rawa saat musim kemarau, memandu petani kapan memulai tanam, dan lain-lain,” tuturnya.
Sayangnya, Indonesia belum punya satelit remote sensing sendiri dan masih tergantung satelit milik negara lain seperti Sentinel, Terra, Landsat, Spot, dan lain-lain. “Kalau punya satelit sendiri, kita bisa lebih leluasa merekam apapun, kapanpun, dan untuk penggunaan apa saja,” lanjutnya.
Pada kesempatan tersebut Rizatus mencontohkan beberapa pemanfaatan remote sensing untuk sektor pertanian. Misalnya penetapan lahan baku sawah baru pada Desember 2019 sebesar 7.463.948 hektare menggunakan citra resolusi tinggi dari satelit Spot 6/7. Penetapan lahan baku sawah ini merupakan sinergi antara Kementerian Pertanian, Badan Informasi Geospasial (BIG), Kementerian ATR/BPN, serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional.
“Lahan baku sawah ini sangat dinamis perubahannya, terutama di Jawa dengan adanya pembangunan infrastruktur dan lain-lain. Karena itu harus diadakan updating supaya kita tidak salah dalam merencanakan suatu pengelolaan lahan, seperti menghitung kebutuhan bibit, pupuk, pestisida, dan lain-lain,” tutur Rizatus.
Data citra resolusi tinggi juga bisa digunakan untuk menganalisa konservasi lahan sawah yang telah dilakukan oleh BBSDLP sejak 2013-2019. Data satelit resolusi tinggi juga bisa dimanfaatkan untuk menganalisa pemanfaatan lahan tidur, pemanfaatan lahan rawa, identifikasi pola tanam untuk penentuan golongan irigasi, dan lain-lain.
BBSDLP mulai 2014 telah mengimplementasikan Standing Crop (SC) Padi menggunakan Modis Terra 8 harian untuk pemantauan tanaman pertanian di seluruh Indonesia. Selanjutnya pada 7 Desember 2020 dilaksanakan soft launching Sistem Informasi Standing Crop (SISCrop) 1.0 menggunakan data citra satelit Sentinel-1.
Standing Crop Sentinel-1 menggunakan data SAR/Radar yang bebas dari tutupan awan dan tidak terkendala waktu pengambilan. Sistem ini diupdate setiap 10-15 hari dengan resolusi spasial 10 meter dengan breakdown 6 fase yaitu persiapan tanam, vegetatif-1, vegetatif-2, generatif-1, generatif-2, dan panen/bera.
Rizatus menerangkan, informasi standing crop bisa dimanfaatkan untuk menghitung saprodi, kebutuhan pupuk, pestisida, dan lain-lain. Manfaat lainnya untuk menghitung waktu panen, luas panen, produksi beras, indeks pertanaman, dan sebagainya. Ke depan, tidak hanya padi yang masuk ke dalam sistem standing crop, tetapi juga jagung dan tebu.
Pemanfaatan Remote Sensing untuk Pembangunan Pertanian di Indonesia
