Bogor, Technology-Indonesia.com – Produk pertanian yang ramah lingkungan mulai menjadi tren dan banyak dicari konsumen. Pertanian yang ramah lingkungan dapat didukung melalui penggunaan pestisida nabati untuk pengendalian hama dan penyakit pada tanaman. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) melalui Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) mencoba mengantisipasi hal tersebut dengan menghasilkan teknologi biopestisida atau pestisida nabati yang ramah lingkungan.
Kepala Balittro, Evi Savitri Iriani mengatakan bahan pestisida nabati bisa berasal dari minyak atsiri seperti seraiwangi, nilam dan lain-lain. Pestisida nabati juga bisa berasal dari bahan-bahan aktif yang ada pada tanaman rempah dan obat.
“Kita mencoba menerapkan nanoteknologi dalam pembuatan pestisida nabati. Nanoteknologi adalah suatu teknologi yang cukup baru namun sudah banyak dimanfaatkan karena memiliki kemampuan dan efektifivitas yang jauh lebih baik dibandingkan dengan biopestisida atau pestisida nabati lainnya,” kata Evi dalam Bimtek Online bertema Nano Pestisida Nabati Minyak Atsiri dan Estrak Tanaman: Formulasi dan Keefektifannya terhadap Organisme Penganggu Tanaman (OPT) yang digelar Balittro pada Rabu (15/9/2021).
Dengan penggunaan nanoteknologi, maka efektivitas biopestisida akan lebih tinggi, biaya lebih murah dan lebih efisien saat penggunaannya. “Dengan biopestisida yang lebih efektif, efisien, dan lebih murah diharapkan dapat membantu petani pada berbagai komoditas untuk mengatasi permasalahan hama penyakit yang biasanya mereka hadapi,” tutur Evi.
Peneliti Balittro, Rohimatun mengatakan pemicu minat terhadap insektisida nabati antara lain karena dampak negatif insektisida, meluasnya penerapan konsep pengendalian hama terpadu (PHT), berkembangnya pertanian organik, dan upaya pelestarian lingkungan. Selain itu adanya perjanjian perdagangan internasional (sanitary and phytosanitary) yang membatasi kadar residu pestisida dalam produk pertanian.
Insektisida nabati, terangnya, merupakan bahan kimia yang berasal dari tumbuhan yang dapat mengakibatkan satu atau lebih pengaruh biologi terhadap terhadap OTP, baik itu respon fisiologis (seperti pertumbuhan dan perkembangan), maupun tingkah laku (seperti aktivitas makan dan peneluran) dan memenuhi beberapa syarat untuk digunakan dalam pengendalian OPT.
“Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi ketika kita akan memilih suatu tanaman untuk dijadikan insektisida nabati yaitu efektif dan efisien, aman terhadap lingkungan dan organisme berguna, tidak bersifat antagonis jika dicampur, dan bahan bakunya mudah didapat,” tutur Rohimatun.
Lebih lanjut Rohimatun menjelaskan beberapa pendekatan untuk menentukan tanaman yang bisa dikembangkan insektisida yaitu tanaman tersebut digunakan sebagai obat tradisional untuk masyarakat; digunakan masyarakat untuk mengendalikan hama serangga secara tradisional; jenis tumbuhan yang sekerabat/se-famili dengan tumbuhan yang sudah diketahui memiliki sifat insektisida; eksplorasi tumbuhan berdasarkan kajian ekologis; dan eksplorasi tumbuhan secara acak (random).
Adapun famili tanaman penting yang digunakan untuk bahan baku insektisida antara lain Acanthaceae, Asteraceae, Fabaceae, Myristaceae, Solanaceae, Annonaeace, Clusiaceace, Lamiaceae, Arecaceae, Euphorbiaceae, Myrtaceae, Piperaceae, dan Zingiberaceae. “Famili-famili ini penting dan sering dipakai untuk insektisida nabati,” lanjutnya.
Rohimatun juga menguraikan kelebihan pestisida nabati antara lain mudah terurai/terdegradasi sehingga ketika suatu produk dikonsumsi tidak ada residu dan aman bagi konsumen. Keunggulan lainnya relatif lebih aman terhadap organisme non target, dapat dipadukan dengan teknik pengendalian lain, dan dapat disiapkan secara sederhana
Pestisida nabati juga memiliki kekurangan antara lain peristensinya yang singkat sehingga perlu disiasati dengan aplikasi berulang. Kekurangan lainnya spektrumnya terbatas dan ekstrak dengan pelarut air tidak tahan lama sehingga harus cepat dipakai. “Selain itu, komersialisasinya memerlukan biaya mahal, sehingga perlu upaya konsentrasi aplikasi rendah. Karena itu peran nanoteknologi diperlukan,” tuturnya.
Rohimatun juga memaparkan tahapan formulasi dan nanoformulasi untuk insektisida nabati. Tahapan pertama yaitu formulasi dan uji bioaktivitas ekstrak tunggal. Pada tahap ini ia menguji 6 spesies tanaman ke serangga target diantaranya cabai jawa dan temulawak. Tahapan selanjutnya yaitu formulasi campuran dan uji kompatibilitas campuran ekstrak terbaik; formulasi nanoemulsi dan uji toksisitas; serta uji keamanan hayati dan keefektifan tingkat semi lapangan dan lapangan
Menurutnya, insektisida yang diformulasikan dengan nanoteknologi masih memiliki peluang yang luas untuk digali dan dikembangkan. “Selain itu, formulasi nano insektisida nabati harus memperhatikan standar yang berlaku,” tuturnya.
Pada kesempatan tersebut, Peneliti Balittro, Rita Noveriza menguraikan nano pestisida nabati minyak atsiri berbahan utama seraiwangi. Nano biopestisida ini terdiri dari bahan aktif droplet minyak seraiwangi berukuran 100-200 nanometer yang berfungsi sebagai antiviral, antijamur, dan insektisida.
Cara pemakainnya, nano biopestisida sesuai konsentrasi yang dianjurkan dilarutkan dengan air. Selanjutnya disemprotkan pada seluruh permukaan jaringan tanaman dengan dosis 10-100 ml per tanaman atau sesuai komoditas, umur, dan tinggi tandaman. Biopestisida ini dapat digunakan sebagai pencegahan dan pengendalian OPT.
“Berdasarkan testimoni dari petani mereka menyukai menggunakan nano pestisida ini karena tidak menyebabkan tangan gatal-gatal dan muntah-muntah. Jadi mereka lebih nyaman menggunakan nano pestisida seraiwangi,” tutur Rita.
Produk nano pestisida ini sudah dilisensi salah satu perusahaan swasta dan diharapkan dalam waktu dekat sudah tersedia di pasaran.