Jakarta, Technology-Indonesia.com – Lahan rawa memiliki potensi sangat besar dan harus digarap secara maksimal untuk pengembangan tanaman pangan. Pengelolaan lahan rawa juga menjadi antisipasi dari alih fungsi lahan pertanian dan mulai menipisnya cadangan lahan pertanian yang subur.
Kepala Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) Dedi Nursyamsi mengatakan potensi lahan rawa untuk pengembangan tanaman pangan cukup luas. Dari sekitar 34,1 juta hektar (ha) lahan rawa, yang berpotensi untuk pengembangan tanaman pangan di rawa pasang surut sekitar 5,3 juta ha dan di rawa lebak sekitar 8,9 juta ha. Totalnya sekitar 14,2 juta ha.
“Selain itu inovasi teknologi pengelolaan lahan rawa yang dihasilkan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan), Perguruan Tinggi, dan lembaga riset lainnya juga sudah banyak,” kata Dedi dalam keterangan tertulis yang diterima Technology-Indonesia.com pada Rabu (27/6/2018).
Lebih lanjut Dedi menjelaskan kunci utama pengelolaan lahan rawa adalah pengelolaan air dan tanah yang tepat dan penanaman varietas yang adaptif lahan rawa. Bila ketiga komponen teknologi tersebut saling bersinergi, maka pertumbuhan dan produksi tanaman akan maksimal.
“Ini sudah terbukti di beberapa lokasi lahan rawa bila dikelola dengan benar maka hasilnya maksimal. Sebut saja di Batola, Banjarbaru (Kalsel), Palangkaraya (Kalteng), dan lain-lain,” ujarnya.
Kapala Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra) Banjarbaru Hendri Sosiawan mengatakan penerapan sistem tata air sistem aliran satu arah (one way flow system) sesuai untuk rawa pasang surut tipe luapan A dan B. Sistem ini menciptakan terjadinya sirkulasi air dalam satu arah, baik air permukaan maupun air bawah tanah karena adanya perbedaan tinggi muka air dari saluran tersier irigasi dan drainase.
“Penerapan tata air sistem aliran satu arah, selain dapat memperlancar pencucian unsur beracun juga memungkinkan dikembangkannya beragam pola tanam asalkan disertai oleh sistem pengelolaan air di tingkat tersier yang sesuai tipe luapan dan sistem pengelolaan air mikro di tingkat petakan lahan,” ujar Hendri.
Hingga saat ini, Balitbangtan telah melepas 25 varietas padi rawa yang disebut Inpara (inbrida padi rawa). Varietas ini adaptif ditanam di lahan rawa pasang surut potensial, sulfat masam dan gambut/bergambut dengan potensi hasil tinggi. Selain itu Inpara juga adaptif terhadap kemasaman dan kandungan besi tinggi, ketahanannya terhadap penyakit tungro dan blas baik, rasa nasi pera sesuai petani lokal dan memiliki indeks glikemik rendah.
Peneliti Balittra Yantirina menambahkan inovasi teknologi pengelolaan lahan rawa yang tak kalah penting adalah sistem surjan yang terbukti adaftif terhadap perubahan iklim dan signifikan meningkatkan pendapatan petani.
Menurut Yantirina, petani surjan di Batola yang memadukan tanaman jeruk siam (lahan kering) dan padi Inpara (lahan sawah) mampu menghasilkan pendapatan sekitar Rp 97 juta dalam setahun, masing-masing Rp 50 juta dari jeruk dan Rp 47 juta dari padi.