Jakarta, Technology-Indonesia.com – State Minister of Agriculture, Forestry and Fisheries – Jepang, Suichi Takatori menyampaikan bahwa kebutuhan pangan ke depan akan semakin bertambah. Untuk itu riset sangat dibutuhkan terutama untuk menghadapi globalisasi dan perubahan iklim.
“Kerjasama riset sangat perlu dilakukan karena tidak ada satu negara pun di dunia yang dapat bekerja sendiri dalam melakukan riset,” kata Suichi Takatori saat membuka Pertemuan G20 Meeting of Agricultural Chief Scientists (G20 MACS) yang diselenggarakan pada 25-26 April 2019 di Tokyo, Jepang.
Delegasi Republik Indonesia (Delri) untuk G20 MACS dipimpin Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Dr. Fadjri Djufry sebagai ketua Delri, Kepala Balai Penelitian Tanah, Dr. Husnain dan Kabag KSHOH Balitbangtan Ir. Erlita Adriani, MBA. Sementara, President Japan International Research Center for Agricultural Science (JIRCAS), Dr. Masa Iwanaga bertindak sebagai pimpinan sidang.
Pertemuan dihadiri oleh chief scientist yang terdiri dari Kepala Badan dan Direktur Riset serta peneliti Senior seluruh negara G20, negara undangan (Spain dan Netherland) dan organisasi internasional (CGIAR, GRA, FAO, CABI, CIMMYT, IPPC, IFPRI, World Bank). Beberapa topik prioritas yang dibahas antara lain sustainable soil management, climate smart agriculture, transboundary plant pest, agricultural technology sharing and agroecosystem living labs (ALL).
Kepala Balitbangtan, Dr. Fadjry Djufry dalam sesi “Agricultural Technology Sharing” menyampaikan bahwa Indonesia memiliki beberapa teknologi yang bisa diadopsi oleh negara-negara yang mempunyai permasalahan yang hampir sama. Teknologi tersebut antara lain: integrasi kalendar tanam dengan rekomendasi pemupukan dan serangan hama yang dibuat spesifik lokasi untuk setiap propinsi, integrasi tanaman dan ternak baik skala besar maupun kecil, pengelolaan untuk lahan rawa dan gambut, uji cepat tanah untuk petani, sejalan dengan Program FAO GSP tentang soil doctor, inventarisasi sumber GRK di tingkat kabupaten dan mempromosikan strategi mitigasi dan adaptasi untuk mengatasi perubahan iklim.
Fadjry juga menyampaikan tanggapan terhadap transboundary plant pests bahwa wabah hama juga terkait dengan hama yang resisten, karena cara penggunaan pestisida/herbisida yang tidak tepat. “Mungkin kita perlu memperluas jaringan untuk berbagi informasi tentang hama tanaman lintas batas ini, misalnya pestisida memungkinkan atau tidak diizinkan untuk digunakan di wilayah yang berbeda. Kami sangat mendukung untuk membangun sistem informasi untuk pemantauan masalah ini,” imbuhnya.
Hari kedua G20, sidang membahas tema climate change dan climate smart agriculture. Bertindak sebagai Delri, Husnain menyampaikan bahwa target Indonesia menurunkan emisi secara voluntary hingga 26% di 2020 dan 29% di 2030, memerlukan effort yang tinggi.
Untuk itu Indonesia telah melakukan berbagai upaya antisipasi perubahan iklim dengan upaya mitigasi dan adaptasi. Beberapa teknologi adaptasi dan atau mitigasi yang diusulkan adalah: pengelolaan bahan organik tanah (carbon stock) termasuk pemanfaatan biochar; peningkatan kualitas pakan ternak; pengembangan berbagai varietas adaptif terhadap kekeringan, banjir, salin, dan lain-lain; integrasi ternak dan tanaman khusus untuk kelapa sawit dan karet serta tanaman lainnya; dan pengelolaan lahan gambut berkelanjutan.
Dalam kesempatan tersebut juga disampaikan bahwa Indonesia sebagai host country dalam event terbesar dan penting terkait Climate Smart Agriculture Conference kerjasama IAARD dan GRA, pada 8-10 Oktober di Bali.
Pertemuan diakhiri beberapa kesepakatan yang telah disetujui semua negara anggota. Tantangan pertanian ke depan adalah menyediakan makanan sehat untuk populasi dunia yang berkembang, mengurangi kehilangan dan limbah pangan, meningkatkan produktivitas di bawah kondisi iklim dan ekonomi yang berubah, melindungi keanekaragaman hayati, menggunakan berbagai sumber daya genetik, memastikan akses ke data dan inovasi teknologi untuk semua petani di seluruh dunia, memerangi penyebaran global hama dan penyakit.
Tantangan semacam itu tidak dapat diatasi oleh hanya satu negara sendirian, tetapi kerjasama antar negara dan lembaga diperlukan untuk kemajuan agar diperoleh dampak nyata. Karena itu negara-negara G20 memutuskan untuk membuka jalan baru dalam mengembangkan strategi penelitian pertanian bersama serta dalam menerapkan format kerjasama baru.
Pertemuan tersebut juga menyepakati diadakannya pertemuan terkait perubahan iklim oleh semua negara anggota G20 di Jepang setelah acara di Bali, Indonesia.