Bertani Cerdas dan Bijak di Lahan Rawa

Jakarta, Technology-Indonesia.com – Pro dan kontra terhadap pembukaan dan pemanfaatan lahan rawa sudah muncul sejak lama. Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S) pernah dilakukan pemerintah pada era tahun 1969-1970an. Menurut Prof. Tejoyuwono (alm), awalnya pembukaan P4S tersebut mendapatkan kecaman dan tantangan dari para pakar pertanian bangsa Eropa, khususnya Belanda. Padahal, pemerintah Belanda sejak tahun 1920an telah membuka lahan rawa sebagai daerah koloninya di Delta Pulau Petak, di antaraKalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.

Masyarakat Banjar dan Bugis sejak puluhan bahkan ratusan tahun telah berhasil memanfaatkan lahan rawa yang monoton tergenang sepanjang tahun menjadi lahan produktif dengan padi sebagai komoditas utama. Keberhasilan ini memberi inspirasi kuat bagi pemerintah saat itu. Sampai tahun 1985, pemerintah berhasil membuka sekitar 2 juta hektar lahan rawa di Kalimantan, Sumatera dan sebagian di Papua dan Sulawesi dengan menempatkan transmigran dari Pulau Jawa dan Bali sebanyak 2 juta Kepala Keluarga.

Peneliti Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra), Dr. Ir. Mukhlis, MS mengungkapkan, berbekal ilmu pengetahuan yang masih terbatas tentang rawa, pemerintah melakukan learning by doing atau learning by teaching. Sementara, William Collier yang telah meneliti lahan rawa sejak 1970-1980 menilai usaha pemerintah dalam pembukaan lahan rawa tersebut berhasil karena menciptakan sentra-sentra produksi, khususnya padi yang menjadi prioritas utama karena Indonesia merupakan importir terbesar di dunia.

Upaya pemerintah untuk mengoptimalkan lahan rawa sebagai sumber peningkatan produksi pertanian, khususnya padi, jagung dan kedelai (PAJALE) kembali mendapatkan respons serupa. Boleh jadi lahan rawa memang bukan pilihan terbaik. Tetapi, kita tentunya tidak ingin melihat masyarakat antri panjang untuk mendapatkan 5-10 kg beras akibat krisis pangan pada 1980an. Kita juga tidak ingin anggaran belanja (investasi) yang mestinya untuk pembangunan beralih untuk impor beras.

Masalah lingkungan yang pernah diungkap pakar lingkungan Prof. Dr. Emil Salim, M.Sc. tidak seharusnya dipertentangkan dengan masalah untuk kepentingan nasional dan masyarakat umum. Pengetahuan dan teknologi terus berkembang. Masalah-masalah dampak lingkungan yang muncul tidak berarti menutup peluang untuk berproduksi, tetapi menjadi tantangan bagaimana kita bersiap menghadapi dan memecahkannya.

Menurut Prof Dr. Supiandi Sabiham, MSc. (Guru Besar Institut Pertanian Bogor) kontroversi pemanfaatan lahan rawa dan lebih spesifik lagi lahan gambut akhir-akhir ini sangat kuat didukung oleh ancaman perubahan iklim global yang ditengarai mengakibatkan pemanasan global. Hasil penelitian Stephens dan Speir (1969) pada lahan gambut di Florida menyebutkan apabila didrainase dengan parit yang baik dan benar, dipupuk secara tepat waktu dengan hara makro dan mikro sesuai kebutuhan tanaman, maka lahan gambut dapat menjadi lahan pertanian yang produktif.

Memang tidak semua lahan gambut boleh atau bisa digunakan. Gambut tebal dan gambut yang masih ditumbuhi hutan primer patut dilestarikan. Adapun lahan rawa yang bukan gambut, tidak ada alasan untuk dilarang pemanfaatannya.

Sistem handil yang dikembangkan oleh masyarakat lahan rawa sampai sekarang telah menjadikan lahan rawa sebagai lahan produktif untuk pangan. Ada ratusan bahkan mungkin ribuan handil yang dibangun oleh masyarakat sepanjang sungai-sungai besar seperti Barito, Mahakam, Kapuas, Kahayan, dan lainnya menjadi saksi kemanfaatan lahan rawa sebagai topangan kehidupan masyarakat setempat.

Kepala Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Prof. Dedi Nursyamsi mengungkapkan potensi lahan rawa di Indonesia sangat luas sekitar 34,12 juta hektare. Namun, tidak lebih dari 5 juta hektar yang dimanfaatkan. Padahal terdapat sekitar 10 juta hektare berpotensi untuk pertanian. “Kalau 10 juta hektare ini dibuka dan dimanfaatkan optimal, maka Indonesia tidak perlu lagi impor pangan, termasuk jagung, kedelai, bawang dan cabai,” ungkap Dedi.

Menurut Dedi, yang perlu mendapat perhatian adalah semakin banyak lahan rawa yang potensial sebagai lahan pertanian, sekarang justru berubah menjadi lahan pemukiman. Karena itu, konversi lahan di daerah perlu juga mendapatkan perhatian.

Peneliti pada Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra)Prof. Dr. M. Noor, MS mengatakan Lahan rawa baik rawa pasang surut maupun lebak memang mempunyai sifat spesifik, karena itu harus ada sentuhan teknologi pertanian tepat untuk diaplikasikan di lahan rawa. Kedua sifat lahan rawa yaitu senyawa pirit (FeS2) harus dibiarkan karena apabila bangun akan terjadi musibah besar. Selain itu, ada lapisan gambut yang dapat menutupi lebih dari 50 cm sampai bermeter-meter. Gambut ini apabila dibiarkan kering akan menjadi spon dan mudah terbakar.

Karena itu, bertani di lahan rawa harus cerdas dan bijak. Cerdas artinya mempunyai cara yang baik dan tepat, sedangkan bijak artinya dapat berkelanjutan dan ramah lingkungan. Dengan bertani cerdas dan bijak, kekhawatiran tentang degradasi lahan dan lingkungan dapat dihindarkan.

Teknologi cerdas dan bijak lingkungan inilah yang sekarang diinisiasikan pada rencana pengembangan atau optimalisasi lahan rawa dari Jejangkit Muara ke 50.000 hektar lahan rawa di Kabupaten Barito Kuala. Dr. Ir. Agung Hendriadi, M.Sc., Kepala Badan Ketahanan Pangan pada Pembukaan International Workshop of Innovation Technology of Mapping and Management of Tropical Wetlands di Banjarmasin (18/10/2018) menyatakan bahwa teknologi pengelolaan lahan rawa sudah tersedia. Tinggal kesediaan pemerintah dan dukungan para pemegang kebijakan untuk implentasinya, termasuk anggaran yang kontinyu, ungkapnya.

Teknologi cerdas dan bijak ini dirancang dan dirakit dari berbagai komponen teknologi yang sudah siap yang berbasis pada pengelolaan air sebagai pilar utama, selain untuk kepentingan budidaya pertanian juga sebagai teknologi mitigasi. Teknologi budidaya tanaman yang dikembangkan didasarkan kekayaan sumber daya genetik unggul, adaptif, rendah emisi, dan memiliki provitas tinggi. Lantas, teknologi penataan dan pengelolaan lahan yang didasarkan pada karakteristik wilayah dan lokasi setempat (specific location), termasuk lingkungan sosial dan adat budaya setempat.

Setiyo Bardono

Editor www.technologyindonesia.id, penulis buku Kumpulan Puisi Mengering Basah (Arus Kata, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (PasarMalam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).
Email: setiakata@gmail.com, redaksi@technologyindonesia.id

You May Also Like

More From Author