Jakarta, Technology-Indonesia.com – Indonesia memiliki keragaman biodiversitas yang sangat tinggi, menempati posisi ketiga di dunia. Ada sekitar 30 ribu tanaman yang sudah diindentifikasi. Dari hasil studi literatur dan empiris, sekitar 10 ribu tanaman berpotensi sebagai sumber pengobatan serta beberapa tanaman memiliki kemampuan antivirus dan peningkat imunitas.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan), Fadjry Djufry mengatakan banyak upaya dilakukan masyarakat untuk mencegah penyebaran Covid-19. Salah satunya, meningkatkan sistem imun dengan memperbaiki nutrisi melalui pemilihan pangan yang bermanfaat bagi daya tahan tubuh.
“Untuk itu, Balitbangtan mendorong beberapa Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang ada di dalamnya untuk terus mencoba mencari potensi dari sekian banyak pangan lokal dan obat herbal yang bisa memberikan solusi-solusi untuk menekan perkembangan Covid-19,” kata Fadjry dalam seminar nasional online bertema ‘Peran Pangan Fungsional dan Neutraseutikal dalam meningkatkan Sistem Imun Mencegah Covid-19’ pada Kamis (25/6/2020).
Kepala Balai Penelitian Tanaman Rempah Dan Obat (Balittro) Balitbangtan, Evi Savitri Iriani mengatakan saat pandemi Covid-19, pihaknya menyaring sekian ribu spesies tersebut untuk mencari tanaman yang memiliki kemampuan antivirus dan peningkat imunitas.
“Pada saat awal pandemi Covid-19, Balittro sudah mengindentifikasi dari berbagai sumber, publikasi dan empiris. Kami melihat ada sekitar 50 tanaman yang memiliki potensi dilihat dari bahan aktif yang dikandungnya serta potensi untuk pengembangannya,” Kata Evi.
Menurut Evi, kriteria untuk pengembangan tanaman tersebut adalah cocok ditanam di Indonesia, dapat meningkatkan kesejahteraan petani, kemudahan untuk mengakses bahan baku, serta tingkat efektivitas terhadap virus atau penyakit lain.
Tanaman tersebut dibagi dalam dua jenis yaitu tanaman yang mengandung flavanoid/alkaloid dan essential oil. “Untuk tanaman yang mengandung flavanoid biasanya digunakan metode ekstraksi, sementara untuk yang mengandung aroma terapi kita menggunakan metode distilasi,” terangnya.
Tahapan pemanfaatan herbal sebagai antivirus membutuhkan waktu yang sangat panjang mulai dari studi literatur/empiris, isolasi bahan aktif, studi bioinformatika, uji in vitro, uji in vivo, uji praklinis, hingga uji klinis tahap 1 hingga tahap 4. “Jadi untuk bahan aktif itu jadi obat sangat panjang waktu yang dibutuhkan,” terangnya.
Secara umum, lanjutnya, suatu tanaman herbal dianggap memiliki kemampuan sebagai antivirus dilakukan melalui banyak mekanisme diantaranya menghambat sintesis RNA dan bereaksi dengan membran virus, merusak sebagian envelop virus, menghambat replikasi dan anti-hemaglutinasi, serta menghambat penetrasi virus pada sel melalui modulasi struktur permukaan virus. “Selain itu, memiliki kemampuan untuk memproduksi antibodi yang nantinya bertugas untuk membunuh virus yang masuk ke dalam sel,” ujarnya.
Evi menerangkan, Balittro telah memiliki beberapa kandidat tanaman rempah dan obat yang berpotensi untuk pandemi Covid-19. Tanaman rempah diantaranya pala, lada, cengkeh, kayumanis, dan kapulaga. Tanaman obat seperti kunyit, temulawak, sambiloto, dan meniran. Sementara atsiri yang berasal dari tanaman seraiwangi, eucalyptus, kayuputih, rosemary, dan peppermint.
Kandungan atsiri umumnya terdiri dari kombinasi beberapa senyawa terpen, asam fenolat, dan aldehid. Minyak atsiri umumnya memiliki kemampuan sebagai antimikroba, antiviral, dan anti jamur.
Sementara eucayptus menghasilkan minyak atsiri yang umumnya diperoleh dari destilasi daun. Selain banyak digunakan pada industri parfum dan pewangi, minyak atsiri ini sering digunakan sebagai antiseptik dan analgesik. Minyak eucalyptus mengandung bahan aktif 1,8 cineol atau eucaliptol yang memiliki kemampuan antivirus, antibakteri, insektisida, dan herbisida. Ekstrak daun eucalyptus juga menghambat replikasi virus influenza (H1N1).
Evi memaparkan, ada 900 jenis eucalyptus yang ada di dunia, namun tidak semua ada di Indonesia. Beberapa daerah seperti di kawasan Perhutani sudah mulai menanam eucalyptus, tetapi lebih banyak dimanfaatkan untuk bahan baku industri kertas. “Daunnya saat ini belum dimanfaatkan secara optimal sehingga minyak eucalyptus saat ini produksinya di Indonesia masih sangat terbatas,” terangnya.
Di Indonesia, lanjut Evi, atsiri lebih banyak berasal dari jenis cajuput yaitu Melaleuca cajuput (M. leucadendra). Cajuput dikenal sebagai pengobatan turun temurun untuk mengurangi masuk angin, perut kembung, flu, gigitan serangga serta memberi rasa hangat pada tubuh. Sebagaimana eucalyptus, cajuput juga memiliki kemampuan antivirus, dan antimikroba karena memiliki kandungan cineol 1,8 bervariasi antara 40-70%.
Balitbangtan melalui Balittro, Balai Besar Penelitian Veteriner (BB Litvet), serta Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian (BB Pascapanen) telah mengembangkan prototipe produk antivirus berbasis eucalyptus yang diluncurkan pada awal Mei 2020. Balitbangtan juga telah bekerjasama dengan PT Eagle Indo Pharma untuk komersialisasi produk tersebut.