Bogor, Technology-Indonesia.com – Fenomena Revolusi Industri 4.0 menuntut perubahan besar dalam pembangunan industri dan jasa termasuk pembangunan pertanian. Menghadapi tantangan perubahan global dalam sektor pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) menjalin kerjasama dengan berbagai perguruan tinggi dalam merancang model pengembangan teknologi pertanian menuju era Industri 4.0.
Ciri pertama Industri 4.0 adalah Internet of things (IoT) yang menghubungkan komputer dan robot dengan sistem internet sehingga informasi dan masalah dapat diketahui saat itu juga (real time). Kemajuan teknologi di era ini juga telah menciptakan sensor baru yang mampu merekam segala proses selama 24 jam sehari. Bahkan, teknologi informasi terus memberikan lompatan disruptif dengan munculnya intelligent system dan IoT sebagai kunci enabling technology yang meningkat secarta signifikan menjadi bagian utama dari peralatan, alat mesin pertanian, dan komunikasi.
Implikasi dari kemajuan teknologi di era Revolusi Industri 4.0 mencakup transformasi di hulu hilir riset pertanian yang menjadi lebih terbuka dalam konektivitas, meningkat efisiensi produksinya, pengolahan, distribusi, pemasaran dan kelembagaan pendukung lainnya. Transformasi di sektor pertanian mencakup tiga hal besar, yaitu digitalisasi pertanian; konektivitas alat mesin pertanian dan lahan pertanian; serta konektivitas ilmu pengetahuan, teknologi dan manusia sebagai pelaku di sektor pertanian.
Dalam era open innovation, Kementerian Pertanian (Kementan) menjaring berbagai teknologi inovatif pertanian yang digagas anak bangsa dari berbagai elemen, seperti perguruan tinggi, kementerian dan lembaga terkait, lembaga kemasyarakatan, swasta hingga petani. Salah satunya melalui kerjasama antara Balitbangtan bekerjasama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB), salah satu perguruan tinggi terkemuka di Bogor.
Rektor IPB, Dr Arif Satria mengatakan, era Revolusi Industri 4.0 tidak hanya terkait teknologi tetapi juga memerlukan perubahan mindset atau paradigma bahwa era sekarang membutuhkan kemampuan untuk berkolaborasi dengan orang lain karena menghadapi ketidakpastian dan kompleksitas. Dari sisi teknologi, artificial intelligence (AI), robotic, drone, blockchain, dan sebagainya manfaatnya besar sekali untuk meningkatkan kesejahteraan petani.
“Problemnya sekarang adalah bagaimana kita mengatasi petani-petani kita yang skalanya masih menengah ke bawah dengan teknologi maju. Karena itu kita perlu kerangka riset seperti apa yang harus dikerjasamakan antara IPB dan Kementan. Kerangka riset, akan menjadi guideline untuk peneliti IPB dan Kementan agar sinergi dan saling melengkapi,” kata Arif Satria di sela Focus Group Discussion (FGD) Pengembangan Teknologi Pertanian Era Industri 4.0 di Aula Display Puslitbang Perkebunan, Cimanggu, Bogor, pada Selasa (28/5/2019). FGD ini merupakan langkah awal untuk untuk merumuskan kebijakan dalam adaptasi dan transformasi pertanian menuju era Industri 4.0.
Selain kerangka riset, diperlukan kerangka implementasi dan kerangka regulasi. Tantangan dalam kerangka implementasi menurut Arif Satria adalah petani di Indonesia yang 68% untuk sawah padi masih di bawah 0,1 hektare penguasaannya dan mayoritas pendidikannya juga masih relatif rendah. “Kalau negara maju gampang, petaninya hebat-hebat dan punya modal, tinggal beli teknologi selesai. Kalau disini kita kan harus mengedukasi,” terang Arif Satria.
Karena itu, lanjutnya, kita harus menghasilkan dan menyediakan sociopreneur atau farm manager yang bisa mendampingi petani dan memfasilitasi pemanfaatan teknologi. Misalnya, pemanfaatan drone untuk memantau pertumbuhan tanaman atau pemupukan tidak harus punya sendiri, tapi bisa difasilitasi oleh farm manager tersebut. Penyuluh pertanian bisa berfungsi sebagai sociopreneur, sehingga perlu ada transformasi penyuluh pertanian berupa transformasi mindset dan transformasi kemampuan teknologi.
“Terkait kerjasama antara IPB dan balitbangtan, dalam waktu dekat riset akan kita sandingkan kemudian kita susun kerangka implementasinya. Yang paling penting adalah kerangka regulasi agar inovasi teknologi bisa dimanfaatkan di lapangan,” ungkapnya.
Hal senada disampaikan Kepala Balitbangtan, Dr. Fadjry DJufry mengenai pentingnya penyiapan regulasi untuk mengantisipasi perkembangan teknologi. Sementara terkait implementasi dan sebagainya, akan dibentuk tim untuk membicarakan lebih detail mengenai apa yang sudah dihasilkan Balitbangtan dan IPB, apa yang bisa dikerjasamakan dan apa yang bisa langsung diimplementasikan. “Jadi tidak semua harus dimulai dari nol, ada yang tinggal implementasi,” lanjutnya.
Menurut Fadjry, kerjasama antara IPB dengan Balitbangtan sudah lama dilakukan. Balitbangtan memiliki pengalaman riset yang cukup banyak dan sudah menghasilkan 600 inovasi yang 400 diantaranya sudah menjadi paten. IPB juga telah menghasilkan banyak inovasi yang berhubungan dengan Industri 4.0.
Inovasi teknologi yang telah dihasilkan Balitbangtan terkait Industri 4.0 antara lain smart soil management, solar irrigation, drone pestisida nabati ramah lingkungan, autonomus traktor, smart green, drone penebar benih, teknologi informasi penyakit ternak berbasis android, Kalender Tanam Terpadu, dan lain-lain.
“Ini kan kampus juga namanya. Kampus Penelitian Cimanggu dan kampus IPB bersinergi bersama-sama untuk memikirkan Indonesia ke depan. Ini hal yang baik karena bergabungnya Balitbangtan dengan perguruan tinggi dalam platform yang sama mencakup pertanian ke depan,” pungkasnya.
FGD yang dimoderatori oleh Peneliti Senior Balitbangtan, Prof. Dr. Suyamto ini diharapkan dapat merangkum pemikiran para pakar dengan lengkap sebagai bahan dalam perumusan kebijakan transformasi pertanian sehingga mampu menjawab tantangan Revolusi Industri 4.0.