Jakarta, Technology-Indonesia.com – Isu perubahan iklim berdampak pada berbagai kejadian alam seperti El Nino yang dapat berdampak negatif pada produksi padi di Indonesia termasuk perkembangan hama dan penyakit padi. Perubahan iklim berpotensi menjadi ancaman besar bagi kelangsungan hidup spesies serta struktur dan fungsi ekosistem.
Kepala Organisasi Riset Pertanian dan Pangan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Puji Lestari mengatakan, untuk mengantisipasi permasalahan tersebut, produktivitas padi sebagai komoditas utama di Indonesia perlu ditingkatkan.
“Berbagai upaya dilakukan agar tingkat produktivitas lebih tinggi dari laju pertumbuhan penduduk yang mencapai 1,3% per tahun termasuk melalui program ekstensifikasi maupun intensifikasi,” jelas Puji pada Webinar Teras TP#10 pada Selasa (22/8/2023).
Webinar bertajuk “Dampak Perubahan Iklim terhadap Organisme Pengganggu Tanaman Padi: Tantangan dan Peluang bagi Ketahanan Pangan di Masa Depan” ini digelar oleh Pusat Riset Tanaman Pangan, Organisasi Riset Pertanian dan Pangan BRIN.
Pusat Riset Tanaman Pangan – ORPP BRIN, Yudhistira Nugraha menyampaikan dalam kurun waktu tiga tahun terakhir produksi padi kita ada peningkatan namun adanya serangan virus kerdil hampa menghambat peningkatan hasil.
Hal tersebut merupakan imbas dari serangan wereng coklat pada musim tanam sebelumnya. Terkait dengan serangan organisme pengganggu lainnya yang paling mengganggu saat ini adalah penggerek batang.
Lebih lanjut Yudhistira mengatakan yang paling penting tidak hanya terkait dengan iklimnya tetapi juga bagaimana pola budidaya tanaman padi. Aplikasi insektisida untuk mengurangi serangan HPT semakin hari semakin meningkat, bahkan hasil survei di daerah Pantura ditemukan pada satu musim tanam lebih dari 10 kali penyemprotan.
“Tentunya ini selain berbahaya bagi lingkungan, juga keracunan bagi petani sendiri dan akan berdampak pada menurunnya populasi musuh alami HPT tersebut. Sehingga perlu dipikirkan bagaimana mengembalikan keanekaragaman hayati musuh alami hama atau penyakit di pertanaman khususnya tanaman padi,” ungkapnya.
Yudhistira berharap, melalui webinar ini ada ide baru terkait bagaimana penanggulangan hama penyakit dan bagaimana memberikan rekomendasi terkait konsep pengendalian hama terpadu (HPT).
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Iklim dan Atmosfer – ORKM BRIN, Elza Surmaini menjelaskan Hama Wereng Coklat (WBC) merupakan salah satu hama utama tanaman padi. Di Indonesia puncak serang WBC terjadi pada La Nina 2010-2011 yang menimbulkan kerusakan lahan sawah 137 ribu ha dan 222 ribu ha dengan penurunan produksi 1-2 ton/ha.
“Kerusakan mencapai 7 kali lebih tinggi daripada kondisi normal 2012 dengan kerusakan sebesar 29 ribu ha. Peningkatan curah hujan selama MK pada saat La Nina memicu serangan WBC Selain curah hujan, peningkatan kelembaban udara, kelembaban tanah dan kecepatan angin mempengaruhi perkembangbiakan, distribusi dan daya tahan hidup hama serangga,” terang Elza.
Hubungan variabilitas iklim dengan luas serangan WBC, dikatakan oleh Elza ada dua variabel yaitu pertama kenaikan suhu. Kenaikan suhu dapat meningkatkan populasi dan wilayah distribusi WBC.
Hal ini bisa menyebabkan ledakan populasi dari serangga hama serta meningkatkan daya tahan hidupnya yang berimbas pada ketidaksinkronanan antara populasi hama, musuh alami dan tanaman inang. Kedua curah hujan, curah hujan yang tinggi menekan populasi serangga-serangga kecil dan jika kekeringan tanaman akan rentan terhadap serangan hama.
Sementara itu, Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Tanaman Pangan BRIN, I Nyoman Widiarta memaparkan, dampak positif perubahan iklim yaitu kenaikan CO2 dan temperatur, tanaman lebih banyak mengasimilasi fotosintat terutama tanaman C4, dan kelebihan air akibat La Nina.
Dampak positif lainnya meningkatkan indeks pertanaman padi, lahan tadah hujan menjadi lebih produktif dan kekurangan air (El Nino), peningkatan luas tanam pada lahan rawa lebak, karena penyusutan air di wilayah rawa lebak tengahan dan lebak dalam.
Sedangkan dampak negatif perubahan iklim lebih kepada dinamika populasi hama dan epidemi penyakit menjadi lebih intens, dapat merusak tanaman, menurunkan produksi sampai menggagalkan panen.
Terkait anomali iklim dan hama-penyakit padi, Widiarta menuturkan El Nino, kemarau kering, menyebabkan cekaman pada tanaman padi, membuatnya lebih rentan terhadap hama dan penyakit. Sedangkan La Nina, kemarau basah, menyebabkan kelembaban tinggi pada kondisi kemarau yang mendukung perkembangan hama dan penyakit.
Dirinya membeberkan data Kementerian Pertanian perihal luas serangan hama dan penyakit utama padi 2009 – 2019. Dari data tersebut diketahui tikus merupakan hama yang paling luas serangannya disusul wereng batang coklat dan penggerek batang padi.
Sedangkan serangan penyakit kelompok bakteri (hawar daun bakteri) yang paling luas serangannya, disusul kelompok jamur (penyakit blas) dan kelompok virus (tungro).
Mitigasi perubahan iklim menurut Widiarta, dapat dilakukan dengan cara melakukan reboisasi, penghijauan, penghentian deforestrasi dan melakukan perlindungan terhadap hutan; menggunakan varietas yang rendah emisi metan; penggunaan pupuk nitrogen; tidak membakar sisa hasil panen dan melakukan dekomposisi dengan bantuan mikroba methanotrophs untuk mengurangi emisi metan.
Sedangkan adaptasi perubahan iklim dapat dilakukan dengan menerapkan sistem kalender tanam; menerapkan teknologi budidaya hemat air, serta sistem irigasi berselang (AWD) dan teknologi budidaya efisiensi penggunaan air.
Adaptasi lainnya yaitu mempersiapkan infrastruktur penampungan air serta perbaikan saluran irigasi yang rusak; menanam varietas tahan terhadap hama dan penyakit disertai monitoring ledakan hama penyakit dan melakukan pengendalian berbasis pada pengendalian hama dan penyakit terpadu. (Sumber brin.go.id)