JAKARTA – Pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sejak Desember 2015 menimbulkan persaingan bebas dalam penyediaan barang dan jasa, tenaga kerja, modal maupun investasi. Kondisi ini memaksa setiap organisasi di Indonesia untuk terus melakukan inovasi agar tidak tergilas oleh organisasi luar negeri. Para praktisi SDM dituntut untuk lebih meningkatkan profesionalisme dalam mengelola SDM di organisasi.
Untuk meningkatkan profesionalisme praktisi SDM, Kementerian Tenaga Kerja mengeluarkan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) yang berisi rumusan kemampuan kerja. SKKNI mencakup aspek pengetahuan, keterampilan atau keahlian, serta yang terkait dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan.
SKKNI diaplikasikan dalam bentuk Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yang berisi rincian kemampuan kerja yang harus dimiliki tiap jenjang jabatan. Dalam KKNI terdapat kerangka penjejangan, kualifikasi dan kompetensi tenaga kerja Indonesia yang menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan sektor pendidikan dengan sektor pelatihan dan pengalaman kerja dalam satu skema pengakuan kemampuan yang disesuaikan.
Dirjen Binalattas Kementerian Ketenagakerjaan RI, Khairul Anwar mengatakan saat ini tenaga kerja yang sudah tersertifikasi baru sekitar 2,3 juta. Sementara, Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) mentargetkan hingga tahun 2019 kurang lebih enam juta tenaga kerja sudah tersertifikasi.
“Sektor yang didorong untuk percepatan sertifikasi adalah 12 sektor prioritas yang masuk dalam MEA,” kata Khairul dalam konferensi pers Peluncuran Program Pelatihan Berbasis Kompetensi Menuju Sertifikasi Manajer SDM Indonesia, di Auditorium PPM Manajemen, Jakarta, pada Selasa (31/5/2016). Kegiatan ini diselenggarakan oleh PPM Manajemen bekerjasama dengan Indonesia Human Resource Institute (IndRI).
Menurut Khairul, untuk meningkatkan realisasi peningkatan kompetensi dan percepatan sertifikasi, perlu didorong bagaimana memberikan kemudahan akses dan penjaminan mutu. “Karena itu harus dipersiapkan infrastruktur berupa standar kompetensi yang harus diselesaikan, lembaga sertifikasi profesinya harus diperbanyak, serta mempersiapkan assesornya,” kata Khairul.
Ketua Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) MSDM Indonesia, Dinarwulan Sutoto mengatakan berdasarkan data BNSP terdapat kurang lebih 570 LSP. LSP yang sudah terakreditasi oleh BNSP tersebut mempunyai kualitas dan proses persertifikasian yang sama.
“BNSP menerapkan standar internasional ISO 17024, sebuah standar untuk sertifikasi profesi. Kami sebagai LSP harus mengikuti proses yang sama yaitu 14 step dan diakhiri dengan proses full assessment dari BNSP, sehingga mempunyai standar kualitas yang sama,” ungkap Sutoto.
LSP MSDM yang setengah tahun berdiri, lanjut Sutoto, memiliki kapasitas 3000 sertifikat/tahun. Sementara menurut data statistik di Indonesia ada sekitar enam juta perusahaan menengah ke atas yang pengelolaan SDM-nya harus disertifikasi. Karena itu perlu sinergi dari semua pihak untuk menyuarakan pentingnya sertifikasi sebagai media untuk bersaing, tegasnya.
Dalam kesempatan tersebut Ketua Dewan Pembina IndHRI, Sapta Putra Yadi mencontohkan bagaimana lowongan kerja di media luar negeri tidak menyebutkan syarat latar belakang pendidikan tetapi mencantumkan sertifikasi yang dicari.
“Di sana, pola pengembangan manusia sudah benar-benar terukur. Sesuatu yang terukur akan bisa dikelola dengan baik. Kita akan mengarah ke sana juga supaya sumber daya Indonesia bisa dikelola dengan baik,” kata Sapta.
Menurut Sapta, jika tidak ada standar kompetensi, Indonesia tidak bisa mengukur kemampuan SDM dengan baik. “Misalnya Serikat Pekerja sering meributkan masalah gaji. Di satu sisi gaji minta naik tapi produktivitasnya tidak terukur. Kenapa? karena standar kompetensinya tidak ada. Sertifikasi ini harus kita dorong di segala bidang profesi,” papar Sapta.
Sementara itu, Direktur Jasa Pengembangan Eksekutif PPM Manajemen, Reni Lestari Razaki dengan antusias memaparkan pentingnya semua profesi untuk mendapat sertifikasi. “Di era MEA sudah ada delapan profesi yang dibuka. Ke depan, akan bertambah. Kalau kita tidak memiliki standar berbagai profesi maka profesional-profesional dari luar akan masuk ke Indonesia,” kata Reni.
Jika individu-individu ini tersertifikasi atau memiliki standar kompetensi tertentu maka Indonesia secara keseluruhan akan menjadi kompeten. Kalau SDMnya Kompeten maka indonesia punya daya saing terhadap 9 negara anggota ASEAN lainnya.
Reni berharap ketiga pilar yaitu yaitu Asosiasi Profesi, Lembaga Diklat, dan LSP serta Pemerintah sebagai pengayom harus bersinergi. “Indonesia tidak akan maju kalau kita jalan sendiri-sendiri,” pungkasnya.