Jakarta, Technology-Indonesia.com – Kepala Pusat Teknologi Bahan Galian Nuklir (PTBGN), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Yarianto Sugeng Budi Susilo memberikan penjelasan terkait pemberitaan di media massa tentang penangkapan pelaku penyelundupan 7 truk berisi bahan nuklir. Seorang pria berinisial WS (42) sebagai pelaku penyelundupan asal Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Tasikmalaya diamankan oleh Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Tasikmalaya.
Atas pemberitaan tersebut, Yarianto menjelaskan bahwa yang diselundupkan oleh pelaku belum dapat digolongkan kedalam bahan nuklir, namun diduga mineral yang mengandung radioaktif dalam kadar yang kecil. “Hal ini perlu diluruskan, bahan nuklir itu adalah bahan yang dapat digunakan untuk reaksi pembelahan berantai atau bahan yang dapat diubah menjadi bahan yang dapat menghasilkan reaksi pembelahan berantai,” ujar Yarianto melalui sambungan telepon, Selasa (14/4/2020).
Sedangkan yang diselundupkan oleh pelaku, imbuhnya, belum tergolong bahan nuklir, tetapi diduga mengandung torium dan uranium yang memancarkan radioaktif dalam kadar yang kecil.
Menurutnya, material yang diselundupkan itu dalam bentuk pasir atau monasit yang dikemas menjadi bentuk lain seperti batako agar lolos dari pemeriksaan pihak yang berwajib. Di dalam monasit yang merupakan hasil samping dari penambangan timah itu masih banyak terkandung mineral ikutan lainnya yang mempunyai nilai ekonomi tinggi.
Mineral ikutan itu diantaranya Logam Tanah Jarang (LTJ) yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, karena sangat dibutuhkan di industri modern. “Penyelundupan itu terjadi karena barang yang diselundupkan mempunyai nilai jual yang tinggi. Barangnya menumpuk dan ada yang menampung, sementara kalau dijual secara resmi tidak memungkinkan karena aturannya mengatakan harus diolah terlebih dahulu,” tambah Yarianto.
Saat ini kata Yarianto, Cina merupakan negara penghasil LTJ terbesar di dunia, bahkan mencapai 80% kebutuhan di dunia dipasoknya. Namun, di tengah perang dagang dengan Amerika, Cina mulai mengurangi ekspor produk LTJ ke negara lain.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan turunannya, monasit dikategorikan sebagai mineral radioaktif, sehingga pengaturan tata kelola pengusahaannya diatur melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Namun pada UU ketenaganukliran dan turunannya belum menampung persoalan tata kelola monasit.
“Saat ini sedang dibahas Rancangan Peraturan Perundang-Undangan tentang pengusahaan dan perizinan bahan galian nuklir, dan sedang memasuki proses harmonisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia,” tuturnya.
Kerena belum adanya perangkat hukum dan aparat khusus yang menangani tata kelolanya, maka menurut Yarianto, monasit dikatakan sebagai barang milik negara dan tidak bisa diperjualbelikan. Dengan demikian, secara otomatis tindakan hukum terkait monasit menjadi kewenangan polisi dan penegak hukum.
Guna menyiapkan pemanfaatan LTJ di masa yang akan datang, Batan telah melakukan penelitian terkait pemisahan monasit untuk skala pilot. “Batan telah berhasil mengekstraksi LTJ dalam bentuk hidroksida bebas radioaktif, kemudian memisahkan elemennya khusus lantanum, cerium, dan konsentrat neodymium, dimana elemen-elemen itu sangat dibutuhkan di dunia industri,” tambahnya.
Selain itu, aplikasi LTJ juga dikembangkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara (Tekmira) bersama Universitas Padjadjaran (UNPAD) terkait pemanfaatan gadolinium untuk kesehatan, dan aplikasi lainnya yang dikembangkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
“Harapannya hasil riset ini dapat diterapkan untuk skala industri dengan memanfaatkan monasit yang ada di Kepulauan Bangka Belitung dan sekitarnya. Dengan demikian pasir monasit tidak lagi diselundupkan karena sudah ada industrinya,” harap Yarianto.